Ada Kekacauan Kebijakan, Komisi VII akan Tanyakan Masalah Ini Ke Menteri ESDM Arifin Tasrif
Senin, 16 Desember 2019, 17:43 WIBBisnisNews.id -- Anggota Komisi VII DPR dari PKS Saadiah Uluputy mengakui, banyak kebijakan sektor migas yang bertentangan atau tumpang tindih dengan kebijakan di atasnya baik UU atau PP terkait. Kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.
"Masalah ini kita tanyakan kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif saat rapat kerja dengan DPR pada masa sidang mendatang," katanya pada Indonesia Energy Talk di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Menurutnya, banyak contoh terjadi dan berdampak menyulitkan pelaku usaha di Tanah Air. Salah satunya, Permen ESDM No.13/2018 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas di Indonesia. "Banyak pasal-pasal yang sumir dan multitafsir. Masalah ini bisa berdampak negatif pada pengembangan usaha dan investasi di Tanah Air, khususnya sektor migas," kata Saadiah lagi.
Kondisi kebijakan sektor migas yang masih carut matur bahkan belum diatur secara tegas, menurut Saadiah perlahan akan dibenahi. "Kami dari PKS akan berjuang melalui Komisi VII DPR untuk membenahi dan menyempurnakan kebijakan yang adil, terbuka, transparan dan ramah investasi," kilah politisi wanita itu.
Saadiah menambahkan, DPR pada periode sebelumnya sudah membahas RUU Pertambangan, tapi sampai sekarang juga belum disahkan. "Kami akan tanyakan itu ke Pemerintah. Jangan sampai ada kekosongan hukum atau hukum yang carut marut tetap dibiarkan, sementara kita ada peluang untuk melakukan perbaikan itu," terang Saadiah.
Sebelumnya, Freddy Soendjojo dari APBBMI mengatakan, dalam Permen 13/2018 itu agen dan penyalur tak bisa menjual BBM/ LPG langsung ke konsumen/ masyarakat. Sementara, banyak kasus terutama di daerah 3T pihak yang mendistribuskan dan menjual BBM atau LPG adalah agen/ penyalur BBM itu.
"Mereka menjual BBM/ LPG sebagai kepanjangan tangan Pertamina sebagai pemegang izin ushaha niaga umum di Indonesia seperti Pertamina, AKR, Shell Indonesia dan lainnya," kata dia.
Jika Permen 13/2018 itu ditegakkan secara kaku, menurut Freddy maka bisa mengancam kelangsungan usaha ribuan anggota APBBMI yaitu agen/ penyalur BBM dan LPG khususnya di daerah terpencil, kepulauan atau 3T.
"Mereka (masyarakat daerah 3T) selama ini menggantungkan pasokan BBM dan LPG ke agen/ penyalur. Jika tiba-tiba dihentikan dan tak boleh menjual BBM/ LPG ke masyarakat bisa kacau. Sementara, Pertamina sendiri baru mempunyai cabang atau perwakilan sampai tingkat kab/ kota di Indonesia," jelas Freddy.
Perlu Perbaiki Kebijakan
Terkait masalah itu, pengamat energi dari PBNU Jakarta Syahrozi mengatakan, sumber masalah dan carut marut migas di Tanah Air karena kebijakan yang tidak sempurna. "Untuk membenahi masalah migas di Indonesia, harus dimulai dari hulunya yaitu kebijakan atau UU Migas No.22/2001," kata dia.
Banyak kejanggalan yang harus dibenahi atau revisi dalam UU Migas dan kebijakan turunannya baik PP, Permen ESDM, dan seterusnya. "Indonesia adalah negara hukum dan masalah hukum termasuk di sektor migas harus segera dibenahi," pinta Syahrozi.
Menurutnya, UU Migas itu sebenarnya lahir prematur, karena belum lahir UU Energi sebagai induknya tapi sudah ada dan diundangkan duluan. "Oleh karena itu, kekacauan hukum ini harus segera dibenahi. Dimulai dari UU Energi, kemudian UU Migas, UU Pertambangan/ Minerba dan lainnya," kilah dia.
Jika Indonesia serius ingin memperbaiki kebijakan sektor migas, maka menurut Syahrozi, harus dibenahi semua. Semua kebijakan harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan di atasnya. "Jika masalah (carut marut) ini masih terjadi, maka akan sulit membenahi sektor migas dan investasi di Indonesia," tegas Syahrozi.(helmi)