APBN 2020 dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Rabu, 29 Januari 2020, 13:15 WIBBisnisNews.id -- Perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran Pemerintahan Indonesia pada APBN tahun 2020 tidak diperkirakan menjadi negara Asean yang tertinggi capaian pertumbuhan ekonominya?
Badan Anggaran DPR RI telah menetapkan postur sementara RUU APBN 2020 yang telah dibahas dengan pemerintah dalam Rapat Kerja berdasarkan hasil Panitia Kerja (Panja) pada Hari Jum'at tanggal 6 September 2019. APBN itu sdah diputuksan menjadi UU dan tahun ini diaplikasikan menjadi program kerja nyata.
"Mereka terdiri dari pendapatan negara, belanja negara, keseimbangan primer, defisit, serta pembiayaan anggaran. Namun sayangnya postur APBN masih dirancang defisit, yang berarti lebih besar alokasi belanja dibandingkan pendapatan atau ibarat pepatah, "besar pasak daripada tiang," katta ekonom konstitusi Defiyan Cori di Jakarta.
Dikatakan, alokasi anggaran belanja negara memang sudah mengalami penurunan sebesar Rp11,2 Triliun dibanding tahun yang lalu. Namun, hal ini lebih dipengaruhi oleh subsidi energi yang terdampak penurunan asumsi ICP yang menyumbang penurunan sejumlah Rp12,6 Triliun.
"Penyebab menurun yang lain adalah berkaitan dengan subsidi BBM yang turun sejumlah Rp15,6 Miliar, dan subsidi LPG yang berkurang Rp2,6 Triliun, serta subsidi listrik diturunkan sejumlah Rp7,4 Triliun," kata Defiyan lagi.
Selain itu, aku dia, anggaran kurang bayar yang semula berjumlah Rp4,5 triliun menyusut menjadi Rp2 triliun. Dana bagi hasil (DBH) mengalami peningkatan Rp1,4 Triliun yang disebabkan oleh imbas kenaikan CHT, PBB, dan PNBP SDA migas.
Defisit Angggaran Rp307,2 Triliun
Adapun pembiayaan defisit anggaran tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sejumlah Rp307,2 triliun. "Jumlah defisit tersebut ditetapkan sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)," sebut Defiyan.
Sementara itu, dari total alokasi belanja negara yang berjumlah Rp2540,4 Triliun, maka alokasi belanja Pemerintah Pusat adalah Rp1.683,5 Triliun atau sebesar 66,3% dari porsi total belanja negara.
Sedangkan alokasi belanja sebagai dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah sejumlah Rp 856,9 Triliun atau sebesar 33,7%. Artinya alokasi belanja pemerintah pusat persentasenya lebih besar dibanding yang dialokasikan ke kabupaten/kota dan desa.
Dengan begitu, menurut Defiyan, Pemerintah Pusat dapat dianggap yang melakukan pemborosan, tidak efektif dan efisien mengelola keuangan negara, sehingga menjadi penyebab terjadinya defisit sebesar 1,76 persen dan bahkan tahun-tahun sebelumnya.
Apabila defisit anggaran yang berjumlah Rp302,7 triliun ini diatasi dengan melakukan pengurangan atau efisiensi atas alokasi belanja pemerintah pusat, yaitu menjadi Rp1.376,3 Triliun, maka postur APBN akan berimbang atau defisit Rp0.
"Mengapa pemerintah atau otoritas moneter dan keuangan justru malah menurunkan alokasi subsidi energi untuk masyarakat? Besarnya alokasi belanja untuk pemerintah pusat ini dapat diartikan bahwa sumber defisit selama ini adalah penyelenggara negara di pusat yang bertindak boros, dan bukan disebabkan oleh daerah-daerah," tanya Defiyan.
Seharusnya untuk tujuan efektifitas dan efisiensi pembiayaan penyelenggaraan negara, maka pemerintah pusat lah yang harus melakukan evaluasi atas belanjanya yang sangat besar pada APBN 2020 ini.
Sedangkan Pendapatan Negara dalam anggaran tersebut hanya ditetapkan sejumlah Rp2.233,2 triliun, walaupun ada kenaikan sejumlah Rp11,6 triliun jika dibandingkan dengan jumlah awal yang dialokasikan pada RAPBN 2020.
"Dari angka tersebut, penerimaan perpajakan dialokasikan sejumlah Rp1.865,7 Triliun atau sebesar 83,5 persen dari total penerimaan negara. mengalami kenaikan sejumlah Rp3,9 Triliun. Peningkatan pendapatan ini berasal dari PPh migas sejumlah Rp2,4 Triliun, PBB sejumlah Rp0,3 triliun, dan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sejumlah Rp1,2 Triliun," papar Defiyan.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengalami peningkatan Rp7,7 triliun. PNBP SDA Minyak dan gas masing-masing naik sebanyak Rp6 Triliun dan Rp0,7 triliun. Domestic Market Obligation (DMO) serta kekayaan negara yang dipisahkan (KND) juga meningkat Rp15,9 Miliar dan Rp1 Triliun.
"Pemerintah masih tetap mengandalkan sumber pendapatan dari penerimaan pajak yang terbesar. Walaupun selama 15 tahun terakhir sektor industri tidak bergerak dan memberikan kontribusi atas pertumbuhan ekonomi nasional," tandas Defian.(nda/helmi)