Belati Itu Bernama UU No 3/2005
Minggu, 29 Oktober 2017, 14:29 WIBOleh: Mahfudin Nigara
Bisnisnews.id - UNDANG-UNDANG OLAHRAGA, sudah dirintis sejak KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dipimpin oleh Jendral TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan mantan Ketua Umum PJSI (Persatuan Judo Seluruh Indonesia), 1999 -2003. Dunia olahraga kita akhirnya benar-benar memiliki Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Di masa Adhyaksa Dault sebagai menpora-lah, UU-SKN itu benar-benar diwujudkan dan diberlakukan. Kebetulan, sang menpora itu adalah kemenakan Pak Wis dari pernikahan,
UU-SKN itu sangat dibutuhkan untuk memajukan dunia olahraga kita. Selama ini, hidup dunia olahraga nasional kita hanya bergantung pada kedermawanan pejabat pemerintah atau pihak ketiga untuk banyak hal. Dan, fakta sejarah juga telah menuliskan bahwa dunia olahraga tanpa UU.SKN itu sama sekali tidak memiliki kekuatan apapun.
Mantan KASAD dan mantan Ketua PJSI itu, memang memiliki komitmen sangat besar pada keberlangsungan dunia olahraga itu sendiri. Tak heran jika Pak Wis, begitu saya dan teman-teman wartawan olahraga senior menyapanya, berkonsentrasi penuh untuk melahirkan kepastian hukum dan kepastian hidup bagi lembaga yang dipimpinnya. Untuk itu, ia menurunkan banyak akhli agar di masa ia bertugas sebagai Ketua Umum KONI Pusat ada yang diwariskan. Tetapi fakta juga mengatakan lain, hingga Pak Wis, berakhir masa baktinya, UU itu tak pernah bisa terwujud.
Di era Agum Gumelar memimpin KONI, barulah UU-SKN itu lahir. Namun, posisinya berbeda, draf dan inisiatif keseluruhan justru berada di tangan Menpora Adhyaksa. Sebagai orang yang tidak berasal dari dunia olahraga ---catatan, Adhyaksa Dault adalah mantan Ketua Umum AMPI dan belum pernah tercatat sebagai pengurus atau mengurus keolahragaan dalam arti sesungguhnya--- Adhyaksa tampaknya menempatkan UU-SKN di prioritas utama. Kebetulan di awal-awal pembahasan kembali draft UU SKN itu, saya bersama beberapa teman yang sempat mendampingi Adhyaksa, antara lain: Darma Madjid (Perbasi-amatir), Ary Arsanto Sudarsono (Basket pro), Doktor Ecky Tamtalahitu (Akademisi, mantan praktisi basket), Poernomo (atletik), Lukman Niode (renang), Wailan Walalangi (tenis), Icuk Sugiarto (bulutangkis), dan Chairuddin Berlian (praktisi keuangan), ikut sibuk membahasnya.
Namun sebelum draft itu menjadi lebih matang, terjadi perbedaan pandangan antara kami dan Adhyaksa hingga akhirnya tim tak resmi itu pun bubar jalan. Sejak tim dibentuk hingga pembubaran kira-kira empat bulan, seluruh biaya yang timbul untuk tim murni dikeluarkan oleh Chairuddin Berlian yang akrab kami sapa CB. Adhyaksa sendiri pada masa itu belum memiliki anggaran, malah kantor saja masih menggunakan kantor firma hukumnya di Setia Budhi, Jakarta Selatan. Ini dilakukan lantaran Graha Pemuda yang selama ini menjadi kantor Kemenpora, sejak dibubarkan Gus Dur telah mati dari aktivitas. Bahkan saat Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur, kantor itu jika tidak keliru ‘dialihkan’ ke Guruh Soekarno Putra. Dan saat akan diambil kembali, terjadi tarik-menarik yang lumayan keras. Dari tim kami tersisa: Darma Madjid dan Icuk Sugiarto yang terus ikut dalam gerbong Adhyaksa.
Jadi, ketika draft atau RUU-SKN itu disahkan menjadi UU-SKN no.3 tahun 2005, kepentingan yang dimaksud oleh Pak Wismoyo telah bergeser 180 derajat. KONI yang awalnya dirancang untuk menjadi lebih kuat dengan diback-up UU-keolahragaan itu, justru kehilangan kendali. KONI justru seperti dibonsai, bahkan sempat ditafsirkan oleh mereka yang awalnya pengurus KONI tetapi ikut boyongan dengan Rita Subowo ke KOI, menyatakan bahwa KONI telah bubar. Mereka berpatokan di dalam UU-SKN nama KONI tidak ada lagi. Posisi KONI digantikan oleh KON.
Kenyataan itu membuat UU-SKN yang awalnya akan dijadikan sandaran dan senjata pamungkas bagi kelangsungan dan keberdayaan dunia olahraga melalui KONI, berubah menjadi seperti sebuah belati yang menikam jantung hati KONI. Dari rencana awal sebagai perisai dan pelindung serta perkuatan untuk KONI, berubah total menjadi alat tikam dan telah ditikamkan ke jantung KONI.
Tidak hanya itu, dengan posisi seperti demikian, maka orang-orang KOI yang ‘nakal’, langsung menambahkan tikaman semakin dalam. Mereka bukan hanya memperlihatkan ketidaksukaan dengan wajah yang tanpa persahabatan, tidak juga dengan kata-kata kasar, tetapi mereka sudah bergerak secara nyata di lapangan dan dapat digolongkan dengan teror. Ya, sejak Mayjen TNI (purn) Tono Suratman terpilih sebagai Ketua Umum KONI Pusat, mereka langsung pasang kuda-kuda untuk menyerang. Padahal saat Tono Suratman menjadi Komandan Satlak Prima menjelang SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang, mereka bahu-membahu untuk mensukseskan penyelenggaraan serta mensukseskan kontingean Indonesia kembali menjadi juara umum. Usaha itu membuahkan hasil dengan menempatkan kembali Indonesia sebagai juara umum untuk kesepuluh kalinya setelah terlempar selama 12 tahun dari posisi elit atau tepatnya sejak 1997.
Yang paling memalukan dan menjijikan terjadi di Balikpapan saat KONI Pusat sedang menggelar Musornas 19-20 Februari 2013. Tanpa merasa bersalah, oknum KOI melakukan operasi di luar kebiasaan dunia olahraga. Mereka menyelipkan selebaran-selebaran jahat ke kamar-kamar melalui rongga sempit di bawah pintu. Isi selebaran itu menyebutkan bahwa pertemuan atau Musornas ini tidak sah atau ilegal karena KONI sudah bubar.
Mengapa hal itu dilakukan? Jawabnya sederhana, dengan bubarnya KONI, maka seluruh kendali berpindah ke tangan KOI, artinya, mereka ingin menyambung kepemimpinan di KONI yang telah mereka ‘kangkangi’ selama lebih dari sepuluh tahun.
Dengan fakta itu, KONI yang sejak sebelum Republik Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 sudah menjadi motor bagi pergerakan keolahragaan nasional, benar-benar memasuki masa tersulit. Fakta itu terlihat pada setiap momen keolahragaan, KONI tak lagi menjadi titik sentral, bahkan beberpa kali KONI justru hanya menjadi pelengkap penderita. Artinya, Ketua Umum KONI hadir sebagai undangan di acara pelepasan kontingen Sea Games, Asian Games, dan Olimpiade. Dulu, menpora selalu didampingi ketua umum KONI melaporkan seluruh kegiatan pada presiden.
Selain itu, di acara tersebut Ketua Umum KONI Pusat yang biasanya menjadi sentral informasi bagi presiden dan menpora, justru menjadi pelengkap penderita. Selama ini ketua umum KONI-lah yang memberikan laporan pada presiden dan menjadi mediator saat presiden berdialog dengan para atlet, kini duduknya saja tidak di barisan depan. Saat acara seperti itu, hanya tidak terjadi lagi, atau tepatnya peran Ketua Umum KONI digantikan oleh ketua KOI. Padahal fakta yang ada hingga saat ini, KONI-lah yang mempersiapkan para atlet bersama dengan Pengurus-Pengurus Cabor. KONI juga yang membentuk Satlak Prima (Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas), satu program yang dirintis dan dibentuk oleh Jendral TNI (purn) Wismoyo Arismunandar saat memimpin KONI dulu. Padahal sebelum atlet-atlet dikirim ke KOI, mereka digembleng dalam pelatnas yang berada di bawah Prima. Dan penanggung jawab prima adalah Ketua Umum KONI Pusat.
Ketika ditelusuri, ternyata yang menjadi penyebab semua itu adalah UU-SKN no-3 tahun 2005 itu. Di dalam UU-SKN memang ditegaskan dan dijelaskan bahwa penanggung jawab keolahragaan nasional adalah Menpora, itu tidak salah. Tapi, kekeliruan terjadi ketika kemenpora harus mengejewantahkannya hingga jauh ke bawah. Dengan posisi seperti itu, maka jika selama ini (itu pun nasib olahraga nasional tidak menjadi baik) dunia olahraga Indonesia langsung (meski bukan struktural) dengan Presiden dan atau Wakil Presiden, kini tidak bisa lagi. Begitu juga terkait dengan anggaran, jika selama ini KONI memperoleh kucuran dana dari Bapenas, tentu setelah digodok oleh DPR Komisi X, kini harus melalui Kemenpora.
Mungkin saya terlalu emosional jika mengatakan bahwa fakta-fakta itu ibarat Belati yang langsung menikam jantung KONI, ........ jleeeb. Tetapi fakta itu jelas dan nyata telah menyulitkan KONI dalam segala hal. Bahkan sekedar untuk membayar listrik, telepon, dan gaji karyawan saja, Ketua Umum KONI dan Seketaris Jendralnya harus lintang-pukang mencarinya. Padahal, itu pun bukan karyawan yang baru direkrut tetapi karyawan yang ditinggalkan sejak era Pak Wis, Pak Agum, dan Bu Rita. ***
* Mahfudin Nigara, wartawan senior dan pemerhati olahraga