Bisnis Transportasi Online Jangan Bebani Negara
Sabtu, 28 Maret 2020, 09:18 WIBBisnisNews.id -- Penyelenggaraan bisnis jada transportasi online yang awalnya digadang-gadang sebagai bentuk ekonomi berbagi (economic sharing) oleh para ahli ekonomi terkemuka, ternyata telah menjadi beban negara sekarang. Kampanye gencar bahwa industri ojol mampu membuka lapangan kerja di Tanah Air, tenyata tak semuanya benar.
"Sekarang, justru negara terpaksa ikut memikirkan kelangsungan hidup agar para pengemudi taksi online dan pengemudi ojek online (ojol," kata akademisi FT Unika Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno di Jakarta.
Dikatakan, sejatinya bisnis transportasi online bukan ekonomi berbagi. Namun bisnis eksploitasi alias perbudakan manusia yang beroperasi dibalik perkembangan teknologi informasi.
"Negara mestinya lebih berhati-hati untuk memberikan peluang bisnis transportasi berbasis teknologi informasi, tanpa mengabaikan keberadaan bisnis transportasi regular yang sudah memberikan manfaat bagi negara," kata Djoko lagi.
Sesungguhnya, menurut dia, bisnis online hanya cara bukan segalanya yang dapat menjamin pengurangan pengangguran. Dengan ojek online dapat membantu manusia untuk memudahkan berinteraksi sosial, ekonomi dan budaya.
Mestinya, jelas Djoko, para pengemudi itu menjadi tanggung jawab perusahaan aplikator yang sudah mendapatkan keuntungan besar dari bisnis ikutannya. Bukan menjadi tanggungjawab negara dengan membebankan APBN.
"Perlu dievaluasi keberlangsungan bisnis transportasi online di Indonesia, apakah perlu diteruskan jika nantinya terus membebani negara. Transportasi online terus-terusan bikin susah Pemerintah," kilah Djoko.
Hanya 18% dari Pengemudi Ojol
Hasil kajian dari Balitbang Perhubungan (2019), hanya 18 persen pengemudi ojol yang sebelumnya pengangguran. Sedangkan kajian yang dilakukan Institut Transportasi Instran (Instran) lebih kecil lagi, cuma 5 persen saja.
Djoko mengaku, dia sering berdiskusi dengan pengemudi taksi online dan pengemudi ojol, belum pernah menemukan pengemudi yang sebelumnya berpredikat pengangguran.
"Yang ditemukan adalah pengalihan pekerjaan atau profesi. Dengan harapan dengan menjadi pengemudi transportasi online, kehidupannya menjadi lebih baik," papar Djoko.
Kenyataannya, berkebalikan dengan harapan mereka, menjadi ketidakpastian, bahkan banyak yang terpuruk ekonominya serta jatuh miskin. Tidak sanggup menuruti permainan bisnis industri transportasi online sebagai mitranya berbisnis.
"Sesungguhnya, bisnis transportasi online dapat mengurangi pengangguran tidak terbukti. Namun sebaliknya, sekarang telah menjadi beban negara," urai pengurus MTI itu.
Kepada para pengemudi transportai online, saran Djoko, seyogyanya bantuan Pemerintah bukan berupa uang. Namun cukup insentif penundaan pembayaran angsuran mobil dan sepeda motor, sebagaimana yang sudah diungkapkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Sementara untuk bantuan berupa uang tunai atau cash agar dibebankan kepada pemilik aplikasi (Grab dan Gojek). "Pasalnya, kedua perusahaan tersebut sudah mendapatkan suntikan dana segar dari investor yang nilainya sangat besar. Hitung-hitung membakar modal lagi," terang Djoko.
Sekali lagi, dia menambahkan, Indonesia harus belajar dengan Korea Selatan yang berhasil mengembangkan bisnis transportasi online tanpa mengorbankan bisnis transportasi reguler. "Ketika wabah virus corona merebak, para pengemudi transportasi online tidak menjadi beban negara, seperti halnya di Indonesia sekarang ini," kilah akademisi senior itu.
Pendapatan pengemudi taksi reguler (konvensional) dan pengemudi ojek pangkalan (opang) juga menurun, sebagai imbas dari merebaknya wabah virus corona, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kedua bisnis transportasi ini sudah lebih dulu melayani masyarakat. Dan selama ini terbukti tidak terlalu banyak merepotkan pemerintah.
Driver transportai online di Indonesia disetarakan warga miskin yang perlu dibantu kelangsungan hidupnya. Sungguh miris, warga miskin di Indonesia kian bertambah akibat Pemerintah salah hanya dengan kemungkinan para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
"Untuk itu, pemerintah juga mempercepat implementasi program Kartu Prakerja sebagai upaya mengantisipasi hal-hal tersebut sekaligus meningkatkan kompetensi serta kualitas SDM," tandas Djoko.(helmi)