Dirut Pelindo II Menolak Menanggapi Hasil Audit Investigasi BPK
Selasa, 06 Februari 2018, 12:36 WIBBisnisnews.id - Hasil auhasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek perpanjangan kontrak kerjasama TPK Koja Tanjung Priok yang berpotensi merugikan negara sekitar Rp 1,86 triliun ditaggapi dingin Direktur Utama PT Pelindo II, Elvyn G Masassya.
Dikatakan, dirinya belum menerima hasil audit investigasi BPK. Karena itu, ungkapnya, dirinya tidak berwenang menanggapinya.
Audit investigasi BPK itu sendiri ungkap Evyn atas permintaan Pansus Pelndo II DPR RI. " Audit BPK itu kan atas permintaan Pansus Pelindo II DPR RI. Kami juga tidak mendapat hasil audit investigasi tersebut. Saya tidak berhak menanggapinya," kata Elvyn diselah-selah acara media visit 2018 di kantornya, Senin.
Anggota Pansus Pelindo II DPR, Irma Suryani mengatakan, hasil audit investigasi BPK RI itu telah direkomendasikan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Dia juga meminta, dugaan keugian negara tersebut dituntaskan secara hukum.
Pansus juga sudah mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menuntaskan kasus perpanjangan JICT yang tengah ditangani komisi anti rasuah tersebut, kata Irma.
Seperti dibertakan sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta aparat penegak hukum menindaklanjuti hasil audit investigatif BPK tersebut.
Dalam temuan BPK RI, ada dugaan penyalahgunaan dengan skema identik kasus Koja dengan Jakarta International Container Terminal (JICT). Kasus di JICT sudah terlebih dahulu diinvestigasi oleh BPK dengan kerugian keuangan negara minimal Rp 4,08 triliun.
Metodenya mirip yang dimulai dengan rencana perpanjangan yang sudah diinisasi sejak 2011 oleh mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino tanpa pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Hal itupun tak pernah diinformasikan dalam laporan keuangan 2014.
Perpanjangan perjanjian kerja sama operasi (KSO) TPK Koja ditandatangani oleh Pelindo II dan Hutchinson Port Holdings (HPH), perusahaan yang dimilikit taipan Hong Kong Li Ka Shing, tanpa melalui izin konsesi kepada menteri perhubungan.
Penunjukkan HPH dilakukan tanpa mekanisme pemilihan mitra kerja yang sehrusnya. Perpanjangan itu ditandatangani Pelindo II dan HPH meski belum ada persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dan persetujuan menteri BUMN.
Temuan BPK selanjutnya adalah penujukkan Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch sebagai financial advisor oleh Pelindo II, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan aturan perundangan. Dan DB sebenarnya tidak lulus evaluasi adminitrasi, serta terindikasi konflik kepentingan karena merangkap negosiator, pemberi utang, dan arranger.
Dalam prosesnya, valuasi bisnis yang dibuat DB diduga telah diarahkan untuk mendukung skenario perpanjangan dengan Hutchisom menggunakan dasar perhitungan tidak valid. Dengan dampak nilai upfront fee yang diterima PT Pelindo II jadi lebih kecil dan tidak seharusnya terjadi.
"Pembayaran pekerjaan kepada DB tetap dilakukan sesuai perintah Sdr. RJ Lino selaku Direktur Utama PT.Pelindo II meskipun tidak didukung dengan bukti-bukti dokumen syarat pembayaran yang telah diatur dalam kontrak," demikian bunyi resume audit itu.
Penyimpangan itu yang diduga BPK menjadi rangkaian proses, yang berujung pada kerugian keuangan negara pada Pelindo II sebesar Rp 1,86 triliun.
Angka itu terdiri dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar 137,47 juta dolar AS. Angka itu adalah hasil perhitungan BPK yang dibantu oleh konsultan keuangan.
Selain itu, BPK juga memaparkan temuan kerugian negara dalam kasus Global Bond Pelindo II sejumlah 1,6 miliar dolar AS yang diterbitkan pada Mei 2015.
Dalam kasus global bond, terdapat kerugian negara minimal 39,79 juta dolar AS atau Rp 539,03 miliar. Ini dihitung dari selisih pendapatan bunga deposito atas dana iddle periode Mei 2015 - Desember 2017. (Syam S)