Gaya Gubernur Djarot Dipenghujung Tugas
Rabu, 13 September 2017, 18:23 WIBOleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur Jakarta Selatan.
Bisnisnews.id-Dalam pandangan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, sekarang ini lebih banyak mengedepankan sikap arogan. Dia sering main gertak dan main ancam kepada
warga.
Tampaknya, bagi dia, (Gubernur DKI) warga seolah musuh yang harus 'diperangi'.
Pada satu kesempatan, gubernur mewajibkan warga segera punya garasi kendaraan. Jika tidak punya garasi dan parkir di tepi jalan umum, dia mengancam akan menderek paksa kendaraan warga tersebut. Setelah itu, dia memberlakukan denda mahal untuk mengambilnya.
Dalam kesempatan lain, penguasa Jakarta ini mengancam akan mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan warga jika menggunakan
trotoar sebagai jalur kendaraan, bukan sebagai pedestrian (jalur jalan kaki).
"Warga Jakarta yang membandel harus ditindak. Kita lihat dia penerima KJP atau dia penerima BPJS Kesehatan, KJS bisa kita cabut," tegas Djarot di Jakarta, Selasa (5/9/2017), seperti diberitakan bisnisnews.id.
Menurut gubernur, kalau ada warga membandel, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
akan mencatatnya. Tugas Satpol PP hanya mencatat dan melaporkan, sebab Satpol PP tidak punya kewenangan menilang seperti polisi.
Harus diakui, warga memang bersalah tatkala menerobos trotoar dengan kendaraan bermotor. Risikonya sangat tinggi. Dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, bahkan korban jiwa.
Namun, pelanggaran 'ringan' ini haruskah diganjar dengan memberangus KJP dan BPJS Kesehatan? Rasanya terlalu berlebihan. Tidak adakah cara lain yang bersifat lebih persuasif dan edukatif? Mestinya gubernur lebih mengedepankan solusi dengan membenahi manajemen lalu lintas, sehingga kemacetan
dapat ditekan minimal. Sebab, kalau dicermati, warga menerobos trotoar akibat 'kepepet' lantaran terjebak kemacetan lalu lintas parah.
Jadi, sumber masalahnya ada pada kerumitan kemacetan lalu lintas itu. Pelanggaran trotoar hanya implikasi. Kalau implikasinya yang justru diurus, dengan hukuman berat pula, artinya gubernur salah tembak. Karena itu, dapat dikatakan, gubernur terlalu reaktif menanggapi persoalan di seputar trotoar.
Masyarakat belum mendengar adanya kreativitas dan terobosan cantik dalam membenahi karut-marut transportasi ibu kota. Bukankah trotoar itu hanya urusan 'satu baut' dari problem besar transportasi? Lagi pula, kalau dilihat lebih komprehensif, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta juga banyak melakukan pelanggaran.
Sebab, di sejumlah jalan raya di berbagai daerah di Kota Metropolian ini, Pemprov tidak mampu membangun trotoar. Pemprov hanya membangun jalan dan drainase. Trotoar tidak ada. Padahal, pembangunan trotoar merupakan kewajiban Pemprov sebab diperintah undang-undang, yakni UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Di sejumlah jalan raya, Pemprov menyiasatinya dengan menutup drainase sehingga dapat
digunakan sebagai trotoar. Namun, di banyak jalan yang lain, drainasenya terbuka.
Lantas, pejalan kaki menggunakan area di pinggir drainase untuk jalan kaki. Padahal, lahan tersebut milik masyarakat, seperti area di depan toko, restoran, kantor swasta, sekolah swasta, rumah ibadah, bahkan di halaman rumah warga.
Itu dapat diartikan Pemprov secara tidak langsung telah 'menyerobot' lahan masyarakat untuk digunakan trotoar. Masyarakat sesungguhnya dapat menuntut 'ganti rugi', sebab lahan mereka dijadikan 'hak guna pakai' trotoar.
Selama ini, gubernur atau instansi di bawahnya tidak pernah mohon maaf kepada warga yang menjadi korban akibat lahan mereka dimanfaatkan sebagai 'hak guna pakai' trotoar tersebut.
Dengan demikian, bila dilihat secara holistik, kisruh di seputar trotoar sebenarnya bukan semata-mata kesalahan warga. Pemprov pun punya andil membuat kesalahan. Makanya, sebaiknya gubernur segera menghentikan sikap arogannya.
Sikap seperti ini kurang elok dipertontonkan di muka publik. Itu hanya mencerminkan gubernur dan jajaran di bawahnya tidak mampu menelurkan solusi menyeluruh di seputar problem transportasi publik. (**)