Harga Minyak Dunia dan BBM Dalam Negeri Yang Picu Pro Kontra
Senin, 27 April 2020, 11:44 WIBBisnisNews.id -- Penurunan harga minyak dunia, di beberapa negara kemudian melakukan evaluasi terhadap harga jual BBM mengacu pada standar perhitungan harga BBM di negara masing-masing. Penurunan ini membuat beberapa pihak latah bicara tentang penurunan harga BBM yang tak kunjung dilakukan oleh Pemerintah.
"Maka muncullah tulisan Said Didu mantan Sekretaris Kementerian BBM yang cenderung provokatif dengan judul yang bombastis dengan tuduhan memeras rakyat," kata pengamat energi Ferdinand Hutahaean di Jakarta.
Dikatakan, Pemerintah dan Pertamina dituduh memeras rakyat dengan harga BBM mahal. Padahal basis pernyataan Said Didu pun kurang tepat karena tidak mengedepankan fakta yang benar. "Kritik tentu boleh dan sah, tapi jangan provokasi rakyat dan jangan fitnah pemerintah dengan info yang kurang tepat," kata Ferdinans lagi.
Benarkah Pemerintah dan Pertamina memeras rakyat dengan harga BBM mahal? Benarkah harga BBM Pertamina mahal? "Pertama kita lihat fakta tentang apakah benar harga BBM mahal? Acuan apa yang kita gunakan untuk menilai harga ini mahal atau murah," tanya Ferdinand.
Masalah ini tentu sulit, karena ini relatif sifatnya. Harga BBM pernah diatas harga saat ini dan tidak disebut mahal. "Jika membandingkan dengan harga BBM negara lain saat ini, di ASEAN saja harga BBM Pertamina masih dibawah Singapore, Laos, Thailand, Philipina dan Cambodia," kilah Ferdinand.
Jadi apa dasar menyebut mahal? Tidak jelas dan ini asumsi pribadi saja dari Said Didu. Kedua, menurut Ferdinand, benarkah Pemerintah dan Pertamina memeras rakyat dari dengan harga BBM mahal?
"Jika soal mahal atau murah, tak terjawab dan tidak jelas acuannya kecuali asumsi pribadi, lantas bagaimana acuan menyebut Pemerintah dan Pertamina telah memeras rakyat dengan harga BBM mahal bernilai kebenaran," tanya Ferdinand lagi.
Dalam tulisannya Said Didu, menurut Ferdinand, menyebut peran mafia dan menyalahkan Pemerintah melalui Keputusan Menteri yang mentapkan MOPS (Mean Oil Platts Sinagpore) sebagai biang kerok. Padahal MOPS ini adalah acuan internasional yang berlaku bagi trader dunia dan basisnya adalah Minyak Brent bukan WTI.
"Tidak serta merta bahwa menggunakan MOPS sebagai acuan maka Pertamina sudah bisa disebut kolaborasi dengan mafia, tidak seperti itu karena Pertamina tidak hanya mengimpor minyak dari Singapore tapi dari banyak sumber yang dilakukan ole ISC Pertamina di Jakarta bukan lagi oleh Petral di Singapore," kritik Ferdinand.
Menurut dia, keputusan Menteri ESDM Nomor 62 tujuannya adalah untuk melindungi rakyat dari penetapan harga minyak mengikuti mekanisme pasar. Pemerintah dan Pertamina tentu tak ingin rakyat bingung setiap saat bila harga tiba-tiba berubah mengikuti mekanisme pasar. "Dampaknya juga terhadap dunia usaha yang akan kesulitan menghitung biaya produksi karena perubahan harga yang terjadi sesuai pasar," papar dia.
Maka sejak dulu Indonesia tidak pernah menjadikan mekanisme pasar untuk menetapkan harga. Ketika harga minyak dunia naik, harga BBM-pun naik demikian sebaliknya. "Ini konsep liberal yang sejak dulu kita lawan. Disinilah kekeliruan Said Didu, teriak Indonesia, bicara nasionalisme tapi dalam tulisannya malah cenderung ingin membawa kita kepada liberalisme pasar," tegas Ferdinand.(hel/helmi)