Industri Manufaktur Tertekan, HIPMI Singgung Rendahnya Koordinasi Kementerian Terkait
Rabu, 05 Februari 2020, 15:26 WIBBisnisNews.id -- Industri manufaktur nasional melemah tertekan rendahnya permintaan terhadap barang produksi dalam negeri. Industri manufaktur Indonesia menunjukkan tren turunnya permintaan termasuk di pasar domestik.
"Koordinasi antar kementerian menjadi salah satu pemicu de-industrialisasi. Sehingga, industri manufaktur menjadi melemah. Masalah yang mendesak segera dibenahi," kata Kabid Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Ajib Hamdani di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Dikatakan, kebijakan mengenai harga gas khusus industri yang lamban diimplementasikan karena koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian yang rendah.
"Implikasnya, mengakibatkan kurangnya dukungan Pemerintah terhadap pembiayaan industri manufaktur di Indonesia," jelas Ajib.
Selain itu, slang sengketa soal harga gas industri juga tidak tuntas sampai sekarang. Padahal, gas merupkan salah satu komponen pokok dalam produksi.
Mesin Industri Tua
Dalam konteks industri tekstil misalnya, jelas Ajib, hampir 30 persen mesin produksi tekstil sudah berumur lebih dari 30 tahun.
Dia melanjutkan, mesin-mesin tua tersebut menghambat daya saing. Di sisi lain, banyak pengusaha kesulitan membeli alat baru yang mahal di tengah permintaan yang menurun dan banjirnya produk impor murah di pasar.
"Para pengusaha perlu lebih antisipatif terhadap risiko permintaan dari luar negeri," ucap pengusaha muda itu.
Ajib mengatakan, selain membantu negosiasi pembukaan pasar baru, pemerintah perlu membenahi sistem pengupahan dengan berfokus pada upah produktif. "Masalah tingginya upah pekerja menjadi salah satu hambatan terbesar di dalam negeri," kilah Ajib.
Selain itu, tambah Ajib, infrastruktur logistik masih perlu ditambah untuk mempermudah distribusi barang. "Harga energi seperti listrik dan gas pun perlu dikaji kembali agar lebih kompetitif, sehingga bisa mengurangi biaya produksi," papar Ajib.
Dia menambahkan, kontraksi pada aktivitas manufaktur di dalam negeri terus berlanjut hingga awal 2020. Di sisi lain, kondisi aktivitas manufaktur yang lesu juga disebabkan oleh faktor domestik.
"Masih diperlukan banyak perbaikan dalam iklim usaha dan investasi yang pada saat ini tengah diupayakan melalui wacana omnibus law," tegas Ketua HIPMI Tax Center itu.(elm/helmi)8