Inkonsistensi Data Terkait Peran China Di Indonesia
Selasa, 23 Mei 2017, 21:29 WIBBisnisnews.id - Informasi yang konsisten dan transparan dari institusi resmi mengenai peran perusahaan China dalam perekonomian Indonesia diperlukan untuk mengurangi informasi yang keliru mengenai sifat, ukuran dan niat perusahaan tersebut. Perbedaan angka antara BKPM, BI dan MOFCOM memupuk kebingungan atas peran dan berkembangnya aktivitas perusahaan China di Indonesia.
Pada bulan Januari 2017, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengumumkan bahwa Indonesia menerima investasi langsung asing (foreign direct investment / FDI) dari China pada tahun 2016 senilai 2,7 juta milyar dolar AS. Ditambah FDI dari Hong Kong, angka ini meningkat menjadi 4,9 milyar dolar AS.
Beberapa minggu kemudian, Bank Indonesia (BI) merilis laporan keuangan mengenai FDI masuk. BI hanya mencatat 163 juta dolar FDI dari China selama 2016 (termasuk 1,4 miliar dolar dari Hong Kong), berbeda seperempat dari perkiraan BKPM.
Tidak seperti pengumuman BKPM, data BI datang tanpa ada penjelasan mengenai perbedaan signifikan dengan BKPM. Perbedaan ini memupuk kebingungan atas peran dan berkembangnya aktivitas perusahaan China di Indonesia.
Satu penjelasan untuk perbedaan ini adalah bahwa BI memperkirakan arus masuk FDI berdasarkan transaksi luar negeri yang tercatat dalam sistem keuangan Indonesia. Ini mencerminkan arus masuk aktual dari China dan Hong Kong.
BKPM di sisi lain mungkin telah mencatat total nilai yang diberikan untuk proyek FDI dan bukan hanya pengeluaran awal. Misalnya, BKPM menghubungkan beberapa catatan FDI dari China untuk pabrik peleburan nikel China dan pembangkit listrik, proyek yang biasanya dibiayai dalam tahap-tahap tertentu selama periode yang dibutuhkan untuk membangun.
Penjelasan lainnya adalah beberapa perusahaan China menyalurkan investasinya melalui Singapura. Sistem hukum disana memberikan keamanan yang mereka inginkan, sementara sistem keuangannya menawarkan akses yang siap membiayai jika dibutuhkan. Sebagian besar bank milik negara besar China ada di sana dan mereka memberikan layanan kepada perusahaan milik negara China.
Pada tahun 2015, Singapura memegang 51 persen dari 62,8 miliar dolar FDI China ke negara-negara Asean. Ini hampir sama dengan 64,7 miliar dolar saham asing FDI Singapura di negara-negara Asean lainnya pada tahun 2015. Karena Indonesia telah memiliki 51 persen saham luar negeri FDI Singapura pada tahun itu, mungkin juga penerima utama FDI China ini disalurkan melalui anak perusahaan China yang berlokasi di Singapura.
Statistik FDI yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan China (MOFCOM) menambah kebingungan statistik. Dari tahun 2004-2015, MOFCOM mengabulkan 628 perusahaan Cina dan mengizinkan mendirikan anak perusahaan di Indonesia, termasuk 131 kantor perwakilan. Namun selama tahun-tahun yang sama, BKPM mencatat lebih dari 2,500 proyek FDI direalisasikan dari China, dan 1,100 lainnya berasal dari Hong Kong.
Angka-angka ini tidak cocok.
Pelaporan MOFCOM kemungkinan terjadi karena perusahaan China hanya melewati jalur resmi dan secara independen mengakses devisa untuk keperluan FDI. Tren ini menyebabkan pemerintah China melonggarkan persyaratan izin pada tahun 2014 sehingga hanya perusahaan-perusahaan China yang mencari operasi di negara atau industri 'sensitif' harus mengajukan izin.
Data terakhir MOFCOM juga mencatat arus investasi FDI yang disetujui ke Indonesia sebesar 1,5 miliar dolar selama tahun 2015. Namun untuk periode yang sama ini, BI mencatat arus masuk FDI sebesar 379 juta dolar dari China dan BKPM melaporkan 628 juta dolar.
Catatan data MOFCOM juga menunjukkan akumulasi stok FDI di Indonesia sebesar 8,1 miliar dolar pada tahun 2015, sedangkan dari tahun 2004-2015 hanya 4,9 miliar dolar sesuai BI dan 2,4 miliar dolar menurut BKPM.
Ini adalah perbedaan yang membingungkan namun dapat terjadi karena tiga faktor. Pertama, perusahaan China menyalurkan FDI mereka melalui Hong Kong dan Singapura tanpa memberi tahu MOFCOM.
Kedua, perusahaan milik negara China yang terdaftar mengajukan izin investasi di Indonesia ke MOFCOM dalam tahap-tahap tertentu. Ketiga, perkiraan saham MOFCOM mencakup pendapatan investasi kembali perusahaan China di Indonesia.
Statistik China sangat membantu isu lain yang sering disalahpahami di Indonesia. Kehadiran Perusahaan China berkembang pesat di Indonesia disebabkan banyak dari mereka menjadi kontraktor dan subkontraktor untuk pembangunan dan pengelolaan proyek yang didukung oleh badan pemerintah China sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (B & RI).
Begitu banyak perusahaan China yang terlibat dalam B & RI sering dibingungkan dengan perusahaan yang melakukan FDI. Ada 49 perusahaan konstruksi China di Indonesia yang harus mendirikan anak perusahaan untuk dapat membayar subkontraktor dan pekerja lokal.
FDI mereka di sektor konstruksi Indonesia relatif kecil, namun nilai proyeknya tinggi.
Buku Tahunan Statistik China menunjukkan bahwa total nilai proyek yang diselesaikan perusahaan China di Indonesia pada tahun 2015 adalah 4,8 miliar dolar, jauh lebih banyak daripada FDI dari China pada tahun itu.
Jumlah ini bukan FDI. Sebaliknya, ini adalah nilai kontrak proyek pemerintah pusat dan daerah Indonesia atau pemerintah daerah dan perusahaan swasta.
Perusahaan-perusahaan China berhasil melakukan tender untuk proyek-proyek ini karena harga yang kompetitif dan fakta bahwa proyek tersebut dibiayai dengan pinjaman lunak dengan suku bunga rendah dan jangka waktu pelunasan yang panjang, yang disediakan oleh bank-bank BUMN China.
Pemberian kontrak kepada perusahaan China ini memiliki beberapa konsekuensi. Pertama, utang luar negeri Indonesia ke China telah meningkat 6 kali lipat antara tahun 2010 dan 2016, meskipun dari tingkat yang rendah, sementara hutang Indonesia ke negara lain meningkat hanya dengan faktor 1,3.
Kedua, kontraktor dan subkontraktor China sering mencari bahan dan peralatan dari pemasok di China daripada di Indonesia. Ketiga, sekitar separuh dari 31.030 ekspatriat China yang bekerja secara legal di Indonesia dipekerjakan di proyek konstruksi. Konsekuensi ini datang dengan serangkaian masalah tersendiri di masa depan.
Namun, untuk saat ini, informasi yang konsisten dan transparan dari institusi resmi mengenai peran perusahaan China dalam perekonomian Indonesia diperlukan untuk mengurangi informasi yang keliru mengenai sifat, ukuran dan niat perusahaan tersebut. (Tao Kong / Pierre van der Eng*)
* Tao Kong adalah Associate Professor bidang Ekonomi di Universitas Peking. Pierre van der Eng adalah Associate Professor Bisnis Internasional, Universitas Nasional Australia.