Jenderal Gatot Nurmantyo Bisa Kalahkan Jokowi
Kamis, 05 Oktober 2017, 02:24 WIB
Oleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur Jakarta Selatan.
Aroma politik Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo makin kuat. Nama mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini sekarang menjadi buah bibir di mana-mana sampai ke strata akar rumput dan peluangnya bertengger di RI-1 cukup besar. Hasil survei yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) pimpinan Rico Marbun mencatat, elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi hanya 36,2 perrsen. Angka ini sekaligus menunjukkan 63,8 persen rakyat tidak mau memilih Jokowi. Dengan kata lain, mayoritas rakyat ingin Jokowi diganti dan Jenderal Gatot menjadi alternatif.
Baca Juga
Bisnisnews.id-Banyak analis menilai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo telah terjun ke kancah politik praktis. Tapi, Gatot membantahnya. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah dan Fadli Zon juga mengamini serta menegaskan Gatot masih bertindak di jalur wewenangnya (on the track).
Tapi, beberapa aksi Gatot, antara lain instruksi nonton bareng (nobar) film PKI dan pembeberan dugaan impor ilegal 5.000 senjata oleh institusi nonmiliter, berimplikasi pada hiruk-pikuk gelanggang politik. Jadi, sebagian masyarakat menangkap pertanda, jenderal kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 13 Maret 1960 ini memang sedang mempertontonkan manuver politik.
Andai benar Gatot berpolitik praktis, apa targetnya? Analis politik Burhanuddin Muhtadi bilang, Gatot yang menduduki kursi Panglima TNI sejak 14 Juli 2015 menyasar pemilihan presiden (pilpres) dua tehun mendatang. Gatot akan pensiun dari serdadu Maret atau April 2018. Masa baktinya tersisa 4-5 bulan. Dari sekarang dia berupaya mengerek popularitas.
Analis pertahanan Universitas Indonesia (UI) Connie Rahakundini mengusulkan Gatot mundur dari jabatan dan masuk partai politik (parpol), namun tak digubris. Peneliti politik Center for Strategy and International Studies (CSIS) J.Kristiadi minta Jokowi mencopot Gatot karena berpolitik praktis dan itu melanggar undang-undang (UU) tentang TNI. Tapi, sampai saat ini panglima belum diganti. Ini dapat diartikan presiden berpendapat Gatot masih on the track.
Seandainya benar Gatot membidik Pilpres 2019, peluangnya memang terbuka lebar untuk menduduki kursi RI-1. Walau bakal menghadapi petahana Jokowi yang masih sangat populer, jenderal yang sudah mengabdi 30 tahun sebagai prajurit ini tetap punya kans besar. Setidaknya ada tiga faktor yang mendukung.
Pertama, hasil survei Media Survei Nasional (Median) pimpinan Rico Marbun yang diluncurkan pada Senin (02/10/17). Survei menyebut elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi hanya 36,2 perrsen. Angka ini sekaligus menunjukkan 63,8 persen rakyat tidak mau memilih Jokowi. Dengan kata lain, mayoritas rakyat ingin Jokowi diganti.
Siapa penggantinya? Belum ada nama secara khusus. Hanya saja survei itu memperlihatkan nama Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), memiliki elektabilitas tidak terlalu jauh dari Jokowi, yakni 23,2 Persen.
Namun, angka itu belum menjadi jaminan mutlak bahwa pensiunan letnan jenderal ini otomatis menjadi lawan berat Jokowi dalam pilpres. Berbeda halnya bila elektabilitas Prabowo di atas 50 persen. Karena itu, Gatot dapat menjadi alternatif pilihan rakyat.
Faktor kedua, gonjang-ganjing politik belakangan ini telah melambungkan nama Gatot di pentas nasional. Nama mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini sekarang menjadi buah bibir di mana-mana sampai ke strata akar rumput. Nobar film Pengkhianatan G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) menjadi salah satu trigger (pemicu) yang mendongkrak sangat kuat popularitas Gatot.
Awalnya, perintah nobar hanya ditujukan kepada tentara dan keluarga mereka. Ternyata, dalam realitasnya, masyarakat ikut menyambut antusias. Nobar tentara-rakyat semarak sampai ke pelosok desa. Anak-anak hingga lanjut usia terlibat di dalamnya.
Faktor ketiga, adanya dukungan parpol. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) memobilisasi kader mereka sampai ke tingkat paling bawah untuk nobar film tersebut.
Bahkan, PKS mengundang mantan Pangkostrad ini untuk menjadi narasumber dalam seminar bertema Pancasila dan Integrasi Bangsa. Seminar digelar Fraksi PKS di Gedung DPR, Rabu (27/09/17).
Aksi PKS dapat ditangkap sebagai gestur awal, bahwa partai pimpinan Sohibul Iman ini bakal bergandeng tangan dengan Gatot. Boleh jadi PKS mendukung Gatot sebagai presiden atau wakil presiden. Tinggal menunggu perkembangan dua tahun ke depan.
PKS melakukan hal yang hampir sama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta tahun 2007. Kala itu PKS meminang mantan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Drs. H. Adang Daradjatun sebagai calon gubernur. Dia didampingi kader PKS Dani Anwar sebagai calon wakil gubernur. Sayang, Adang/Dani dikalahkan pasangan Fauzi Bowo/Prijanto. Fauzi adalah mantan wagub, sedangkan Prijanto mantan Pandam Jaya.
Begitu pula PAN. Partai pimpinan Zulkifli Hasan ini seiring sejalan dengan PKS mendukung nobar film PKI. PAN sekarang menjadi pendukung pemerintahan Jokowi. Tapi, pada 2019 nanti parpol yang didirikan tokoh reformasi Amien Rais ini masih 'jomblo'. Jadi, tinggal melihat suasana 'pasar' politik. Rasa-rasanya PAN condong menjadi pendukung Gatot.
Partai Golkar dapat pula memperpanjang deretan gerbong pendukung Gatot. Hubungan keduanya cukup erat. Masih segar dalam ingatan publik, panglima membacakan sebuah puisi dalam acara rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (22/05/17). Puisi berjudul "Tapi Bukan Kami Punya" itu menjadi viral di media sosial (lihat puisinya di bawah tulisan ini).
Memang, sekarang Golkar masih di kubu Jokowi. Golkar pun sudah menyatakan komitmen mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Itu sudah ditegaskan beberapa kali oleh ketua umumnya, Setya Novanto (Setnov).
Sekali lagi, itu pernyataan Setnov. Bagaimana jika Setnov lengser atau dilengserkan karena kasus hukum? Toh, sampai saat ini kasus e-KTP yang diduga melibatkan dirinya masih diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Andai kata Setnov kokoh memimpin Golkar, pada detik-detik akhir menjelang penetapan capres 2019 dapat saja partai berlambang Beringin dan Padi Kapas ini 'balik badan'. Maklum sajalah, politik kan bukan bicara soal kuatnya komitmen dukungan, melainkan seberapa besar kepentingan dapat diakomodasi dan juga kalkulasi perolehan keuntungan.
Tidak boleh abai pula dengan Gerindra. Parpol ini baru menetapkan ketuanya, Prabowo, sebagai capres. Calon wakil presidennya masih dikosongkan. Nah, Gatot potensial disandingkan dengan Prabowo, jika dalam hitungan politik pada injury time (detik-detik akhir) menguntungkan kedua pihak.
Jadi, dalam hitungan teoritis, sudah ada empat parpol berpotensi kuat berada di belakang Gatot. Pada waktunya mantan Pangdam V Brawijaya ini bakal mengonsolidasikan itu semua.
Ketenaran Gatot sekarang dapat disamakan dengan ketua-ketua parpol besar. Tak dapat disangkal, nama mantan Gubernur Akademi Militer (Akmil) ini paling populer di antara jajaran menteri di Kabinet Kerja.
Ke depan, dapat diduga, sang jenderal masih akan mementaskan banyak manuver yang mengejutkan. Karena 'telanjur basah' berenang di lautan politik, mungkin dia tidak akan undur, meski jabatan panglima jadi taruhan. Tampaknya, dia sudah berhitung, Presiden Jokowi akan berpikir dua-tiga kali sebelum mencopotnya.
Yah, Jokowi tidak mungkin gegabah. Mengganti Gatot dan melakukan kocok ulang (reshuffle) kabinet sekarang ini mengandung risiko politik besar. Jika Gatot diganti, kemudian rakyat menganggap dia dizalimi presiden, otomatis nama Gatot makin berkibar.
Hal seperti ini terjadi pada akhir tahun 2003 ketika Presiden Megawati berselisih dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam). Ujungnya, awal 2004 SBY undur diri dari jabatannya. Namun, SBY mengondisikan diri sebagai orang yang dianiaya (dizalimi) Mega.
SBY piawai memosisikan diri sebagai pihak teraniaya, sehingga mendapat simpati rakyat. Lantas sejarah mencatat, pasangan SBY-Jusuf Kalla menjadi presiden/wapres Indonesia pertama hasil pilihan langsung rakyat pada 2004. Pada masa sebelumnya, pemilihan presiden/wapres dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). SBY-JK mengalahkan Mega yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi.
Tentu peristiwa ini sudah masuk catatan Jokowi. Karena itu, dia pasti bertimbang komprehensif sebelum mengambil tindakan terhadap jenderal Gatot.
Pastinya, Jokowi justru akan mengeluarkan jurus jitu untuk mengerem Gatot, agar tidak makin 'liar', sekaligus meredam popularitas pembantunya ini agar tidak menjadi batu sandungan pada Pilpres 2019.
Menarik dinanti bagaimana 'pertarungan' politik Jokowi-Gatot sampai Maret-April tahun depan saat Gatot pensiun dan otomatis dapat dicopot dari jabatan panglima. (*)
Puisi berjudul Tapi Bukan Kami Punya yang dibacakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam acara Rapimnas Partai Golkar di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (22/05/17). Puisi ini karya Denny J.A., konsultan politik dan pimpinan Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Tapi Bukan Kami Punya
Sungguh Jaka tak mengerti, mengapa ia dipanggil ke sini.
Dilihatnya Garuda Pancasila, tertempel di dinding dengan gagah.
Dari mata burung Garuda, ia melihat dirinya
Dari dada burung Garuda, ia melihat desa
Dari kaki burung Garuda, ia melihat kota
Dari kepala burung Garuda, ia melihat Indonesia
Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya
Sangat luas sawahnya, tapi bukan kami punya
Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling
Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya
Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata
Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya
Lihatlah aneka barang, dijualbelikan orang
Oh makmurnya, tapi bukan kami punya
Jaka terus terpana, entah mengapa meneteskan air mata,
air mata itu ia punya.