Kargo Udara Belum Memiliki Standar Layanan dan Payung Hukum Yang Jelas
Senin, 11 September 2017, 17:07 WIBBisnisnews.id - Kargo udara di Indonesia belum memiliki standar layanan yang jelas, sehingga perlu dicarikan solusi yang tepat. Penyatuan persepsi, dari penyelenggara bandar udara selaku pemilik Badan Usaha Bandar Udara (BUBU) bersama seluruh stakeholder di sektor logistik, bukan hal mudah.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI),Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, kalau mau menyelesaikan problematika kargo udara yang sudah carut-marut ini, tentu harus dilakukan semua pihak. Duduk bersama, bentuk tim khusus, mencari akar masalah dan membuat rumusan yang jelas, dengan meninggalkan atribut masing-masing.
"Secara keseluruhan, sampai saat ini kita belum memiliki payung hukum yang jelas. Bahkan standar layanan kargo kita gak punya, makanya, kita harus sama-sama buka baju, selesaikan masalah ini untuk kepentingan logistik nasional," kata Yukki, saat menjawab pertanyaan peserta Workshop Kargo Udara dan Pos yang diselenggarakan PT Angkasa Pura I, Senin (11/9/2017) di Jakarta.
Baca Juga
Inilah Lima Pelabuhan Paling Padat Saat Libur Panjang Akhir Tahun, Pelni Ingatkan Pemesanan Tiket
HASIL RAKERNAS
Aptrindo Putuskan Mogok Nasional Menolak Odol, BBM Subsidi dan Sertikat Halal, Angkutan Barang Lumpuh
TRUCKING
Aptrindo Teriak, Keseriusan Pemerintah Terhadap Distribusi Logistik Dipertanyakan
Diakui, workshop yang diselenggarakan hari ini (11/9/2017), belum bisa menghasilkan satu kesimpulan, termasuk soal standar layanan. Para pemangku kepentingan di sektor logistik, harus kembali berkumpul untuk membahas satu per satu beragam masalah yang dihadapi bangsa ini.
Dia juga berharap, saat menyelesaikan masalah dan membuat rumusan standar layanan kargo, masing-masing pihak wajib menyingkirkan 'ego', sehingga hasilnya benar-benar objektif. Termasuk perusahaan-perusahaan yang dibentuk oleh Angkasa Pura.
"Bisnis kargo, adalah kepercayaan, siapapun tidak bisa melawan pasar, termasuk pemilik BUBU. jadi, kalau airlines telah menentukan mitranya dengan perikatan kontrak, lalu mau diambil begitu saja, jelas tidak akan bisa. Makanya saya bilang tidak usah takut terhadap anak-anaknya BUMN," kata Yukki.
Kata Yukki, gesekan yang terjadi belakangan ini, lebih kepada arus proses kerjanya, bukan masalah persaigan. "Saya sih melihatnya seperti itu, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan, akibatnya orang protesnya A dibilang B," tegas Yukki.
Dia juga menjelaskan, masalah kargo ini, kalau tidak didasarkan kepada kesepakatan B to B, kecil kemungkinan dapat berkembang seperti yang diharapkan semua pihak. "Yah, kita-kita ini harus membenahi bersama," ungkapnya.
Penguasaan pasar, terbentuk dari kepercayaan mitra kerja, dan bukan terjadi karena kekuasaan. "Siapa yang memberikan service lebih bagus, sudah bisa dipastikan mendapat kepercayaan. No service no money, kan sudah jelas ini kan soal kepercayaan," kata Yukki.
Karena itu, lanjut Yukki dalam workshop itu diusulkan, hasil pertemuan dilanjutkan kepada pertemuan berikutnya. Kalau masalah ini tidak cepat diselesaikan, kita bisa tertinggal terus dari negara-negara tetangga.
"Kepastian penyatuan persepsi dan pembentukan standar layanan kargo, tidak bisa seperti membalik tangan, prosesnya panjang tapi harus kita lakukan sehingga semuanya menjadi jelas," kata Yukki.
Dia juga percaya dengan sistem yang ada nantinya. "Sekarang ini saja, airlines yang menentukan, kita juga berharap segera ditentukan satu payung hukum untuk semua. Makanya, saya bilang, harusnya Kementerian Perdagangan dan Perindustrian juga dilibatkan, karena masing-masing memiliki regulasi yang berbeda," tambahnya.
Ketika ditanya hal lain tentang bisnis apa yang diperbolehkan bagi swasta di bandara, Yukki menjawab harus bisa dibedakan antara logistic infrastructure provider dan logistic services provider.
"Untuk mengetahuinya maka dasar pertama adalah landasan aturan dan kedua adalah alur proses kerja yang disepakati. Jadi dalam UU harus ada juklak (petunjuk pelaksana) dan juknis (petunjuk teknis)," jelasnya. (Syam S)