Kasus Hakim Ditangkap KPK, Kongkalikong Politik-Hukum
Rabu, 11 Oktober 2017, 11:55 WIB
Oleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Pejaten Timur Jaksel.
Bisnisnews.id-Hakim Sudiwardono tertangkap basah menerima suap dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aditya Anugerah Moha di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Jumat (06/10/17). Aditya memberi sang hakim uang dalam bentuk dollar Singapura yang setara dengan Rp 1 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat keduanya setelah transaksi.
Sudi dan Aditya sudah beberapa kali berkomunikasi via telepon sebelum terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, keduanya menggunakan kata sandi "pengajian" untuk melakukan pertemuan.
Suap ini dimaksudkan Aditya sebagai "uang tebusan" untuk membebaskan ibunya, Marlina Moha Siahaan, yang menjadi terdakwa dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sulawesi Utara. Marlina, Bupati Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2011, tersangkut kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow.
Cukup jelas, sogok diberikan bukan tiba-tiba, melainkan sudah dikondisikan sebelumnya. Sudah terjalin komitmen lebih dulu. Sudah terjadi konspirasi alias kongkalikong. Artinya, mereka sadar sedang melaksanakan "pengajian" yang content (isinya) mengingkari perintah Tuhan.
Penggunaan mata uang asing dimaksudkan agar lebih ringkas dibandingkan rupiah. Kurs satu dollar Singapura hampir setara dengan Rp10 ribu. Jadi, dollar Singapura itu cukup dimasukkan ke dalam beberapa amplop. Kalau menggunakan rupiah, uang Rp 1 miliar mungkin harus dimasukkan ke satu koper.
"Ini semakin memperkuat pendapat bahwa dunia peradilan kita bobrok," kata Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, seperti dikutip kompas.com, Minggu (08/10/17).
Menurut Hakim Agung Gayus Lumbuun, yang tertangkap KPK ini adalah yang tampak di permukaan. Yang tersembunyi justru jauh lebih banyak lagi. Dia tidak menampik kemungkinan bakal ada lagi hakim-hakim lain tersengat KPK berikutnya. Dia prihatin karena hanya dalam tempo beberapa bulan banyak hakim terjaring korupsi.
Mahkamah Agung (MA) langsung memberhentikan sementara Sudi dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Herry Swantoro. MA menilai Herry ikut bertanggung jawab. Sebab, Herry atasan langsung para hakim tingkat banding dan ketua PT. Herry tidak melaksanakan dengan benar tugas pembinaan dan pengawasan terhadap bawahannya. Demikian keterangan pers Ketua Kamar Pengawas MA Sunarto.
Aksi MA ini rasanya masih bersifat reaktif. Sekaligus juga mengundang pertanyaan, mengapa hanya Herry yang ketiban pulung? Sebab, bila alasannya dia atasan langsung Sudi, bukankah Herry juga punya atasan langsung, yakni Ketua MA Hatta Ali? Kalau mau fair, mestinya kesalahan itu ditanggung renteng. Hatta Ali juga harus diberhentikan sementara.
Jadi, tak usah heran bila Gayus meminta "pertanggungjawaban" moral Hatta Ali. "Ketua MA harus mundur sebagai bentuk tanggung jawab etika dan moral," kata Gayus di kompas TV beberapahari lalu. Pendapat ini dia ulang di beberapa TV swasta lain.
Bersamaan dengan itu, MA harus melakukan koreksi dan evaluasi total terhadap sistem peradilan. "Sistem itu minimal mencakup rekrutmen, pembinaan, pengawasan, mutasi, administrasi, dan transparansi," kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan tatkala diwawancarai sejumlah wartawan di Jakarta, Senin (09/10/17).
Selaras dengan itu, Feri Amsari mendesak MA melakukan pembenahan dengan cepat. Ini untuk memulihkan kembali kepercayaan publik. Hilangnya kepercayaan publik kepada dunia peradilan berdampak negatif. Publik bisa mengambil cara-cara di luar pengadilan untuk menyelesaikan persoalan. Mereka meninggalkan ruang peradilan yang ujungnya main hakim sendiri.
Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap KPK, justru menyoroti perilaku KPK. Dia menuduh KPK sedang bermain politik, bukan menegakkan hukum. Kata Agun, KPK terus mengincar Ketua Umum Partai Golkar dan kader-kadernya di seluruh Indonesia.
Alasan Agun, hanya dalam tempo dua bulan belakangan ini, banyak kader Golkar yang ditangkap KPK. Misalnya, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti; Bupati Tegal, Jawa Tengah, Siti Masitha Soeparno; Wali Kota Cilegon, Banten, Tb. Iman Ariyadi, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Jadi, mereka memang sudah dijadikan target oleh KPK.
Agak “konyol” logika yang dibangun Agun. Bukankah para politikus Golkar yang juga kepala daerah itu terjerat operasi tangkap tangan (OTT)? Artinya, ada barang bukti bahwa mereka sedang menerima atau memberi sesuatu yang berkategori korupsi. Jika KPK sengaja membidik, bukankah semua yang berindikasi korupsi, walau bukan OTT, ditangkapi tanpa kecuali? Ternyata tidak.
Mungkin juga Agun kecewa karena namanya disebut KPK sebagai terduga penerima aliran dana proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Agun seolah melampiaskan kekecewaan itu dengan mencari-cari kesalahan KPK. Di samping Agun, nama anggota DPR yang juga diduga menerima aliran dana e-KTP di antaranya Setya Novanto (Golkar), Chairuman Harahap (Golkar), Markus Nari (Golkar, sudah divonis), Masinton Pasaribu (PDIP), Miryam Haryani (Hanura, terdakwa).
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkiflie Hasan ikut angkat komentar. Namun, nadanya berbeda dengan Agun. Zul menyalahkan sistem pemilihan umum (pemilu). Menurut Zul, tertangkapnya Aditya, anggota Komisi XI DPR dari Partai Golkar, akibat sistem pemilihan umum (pemilu) yang ongkosnya mahal. Jadi, sistem pemilu harus diubah supaya korupsi para politikus dapat dicegah atau dikurangi.
Tampaknya para politikus tidak jemu menjadikan biaya pemilu dan ongkos politik yang mahal sebagai kambing hitam. Mereka sangat tidak kreatif dalam mencari alasan. Bagi logika rakyat, jika tak mampu membayar ongkos poilitik, ya tidak usah terjun ke arena politik.
Karena mahalnya ongkos politik terus disalahkan, ini dianggap sebagai justifikasi atau pembenaran bagi politikus korupsi. Barangkali inilah alasannya para kepala daerah terus berlomba menjarah uang rakyat. Kalau suatu saat tertangkap OTT KPK, mereka dengan enteng akan bilang, “Ah, ini kan lagi apes aja”. Pemberantasan korupsi pun menjadi kian berat.
Atas alasan ini pula agaknya tak salah ketika mantan Ketua MA Bagir Manan bilang, pusat korupsi di Indonesia ada di dua sektor, yakni birokrasi dan politik. Di ranah birokrasi ada banyak celah untuk dimainkan, misalnya penyalahgunaan jabatan, perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta jual-beli jabatan.
Di ranah politik agak berbeda. Di sini "celah" korupsi justru diciptakan dan direkayasakan. Politik dalam konteks ini mencakup partai politik, politikus, lembaga legislatif. Politikus dapat merambah ke lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kasus hakim Sudiwardono dan politikus Aditya Anugerah Moha menjadi contoh betapa antara politik dan yudikatif dapat “bersinergi” mesra untuk melakukan rekayasa yang saling menguntungkan. Sarananya pun diciptakan agar sulit dideteksi kebanyakan orang dan berupaya mengelabui penegak hukum, lewat "pengajian".
Jangan-jangan esok atau lusa politikus rakus dan aparat hukum nakal bakal berkolaborasi mengadakan pergelaran “istighosah” untuk bancakan uang negara. Nauzubillah…(*)