Kebijakan Berubah-Ubah Diduga Tekan Pertumbuhan Industri
Senin, 30 Januari 2017, 01:30 WIB
Bisnisnews.id - Pergeseran kebijakan pemerintah yang mengangkat larangan ekspor ore ternyata tidak berdampak banyak bagi Antam. Harga saham turun sebanyak 6,9 persen, lebih rendah daripada sebelum pengumuman kebijakan baru, 12 Januari lalu.
Keputusan mengejutkan pemerintah tanggal 12 Januari, yang mengangkat larangan ekspor ore, telah mengacaukan industri nikel Asia. Saham produsen nikel anjlok hari di tengah kekhawatiran lonjakan pasokan tiba-tiba.
Harga saham Vale Indonesia, produsen nikel terbesar di Indonesia, unit lokal dari pertambangan raksasa Brazil, Vale, terjun lebih dari 15 persen. Harga saham Nickel Asia dari Filipina anjlok lebih dari 10 persen. Western Australia turun hampir 20 persen.
Sementara Aneka Tambang dari Indonesia, sahamnya melompat 6 persen. Itu karena pemerintah mengizinkan ekspor bijih nikel kadar rendah, atau bijih yang mengandung kurang dari 1,7 persen nikel, meningkatkan harapan Antam untuk meraup keuntungan dari keputusan tersebut.
" Kami menyambut kebijakan baru yang memungkinkan ekspor bijih nikel kadar rendah di tambang yang belum digunakan atau diolah di dalam negeri," kata Presiden Antam, Tedy Badrujaman dalam sebuah pernyataan pers.
Tapi dorongan tersebut ternyata berumur pendek. Antam gagal mempertahankan momentum, harga saham turun 6,9 persen pada 24 Januari senilai 805 rupiah dan tetap demikian sampai penutupan 27 Januari 2017. Harga ini lebih rendah dari pada sebelum pengumuman.
Kekhawatiran kelebihan pasokan ternyata berdampak pada prospek penjualan perusahaan. September lalu, Badrujaman mengatakan Antam bisa mengekspor 20 juta wet metric ton (wmt) bijih pada 2017 jika larangan tersebut dicabut. Antam mengekspor hampir 10 juta wmt bijih pada tahun 2013. Sepertinya sekarang tidak mungkin Antam dapat mengekspor sebanyak itu.
Menurut pemberitaan fokus perusahaan dari Nikkei Asian Review, beberapa kebijakan pemerintah yang suka berubah-ubah, menimbulkan kekhawatiran industri pertambangan dan investor, juga dapat mempengaruhi dunia. Beberapa orang yakin bahwa tujuan pemerintah Indonesia menahan produksi hilir jangka panjang, untuk keuntungan jangka pendek.
" Pengangkatan larangan merupakan indikasi jelas tentang posisi fiskal pemerintah saat ini, dan tujuan bersifat jangka pendek merupakan setengah dari masa tugasnya, sementara pemilihan presiden berikutnya diadakan pada 2019, " kata Bill Sullivan dari firma hukum Indonesia Christian Teo & Partners. Kebijakan amnesti pajak yang diluncurkan tahun lalu juga ditenggarai gagal untuk membawa kembali uang dari luar negeri guna membiayai infrastruktur.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, mengatakan pada 24 Januari, bahwa pemerintah berkomitmen untuk visi jangka panjang, dan melanjutkan ekspor bijih akan membantu ekspansi pembiayaan kapasitas smelter dalam negeri. Namun, kebijakan pertambangan yang berubah-ubah selama beberapa tahun terakhir mungkin terus membebani prospek pertumbuhan industri Indonesia.
Keuntungan Antam akan menjadi tolak ukur tentang seberapa besar komitmen pemerintah untuk membangun industri hilir. Antam harus memikul tanggung jawab untuk meningkatkan dana, terlepas dari siklus komoditas dan kebijakan pemerintah. (marloft)