Kebijakan Harga Gas Berpihak Kepada Siapa?
Kamis, 13 Februari 2020, 05:59 WIBBisnisNews.id -- PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) yang kemudian diberikan 3 (tiga) opsi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tuntutan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk menurunkan harga gas industri.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Terbatas (Ratas) dengan topik 'Ketersediaan Gas untuk Industri', di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Hari Senin tanggal 6 Januari 2020 telah menyampaikan arahan agar menurunkan harga gas, sebagai pilihan bagi PGN.
"Presiden Jokowi menyoroti soal harga gas industri yang masih belum berhasil untuk diturunkan oleh otoritas ekonomi energi menjadi masalah bagi kalangan industri. Presiden juga menyampaikan sasaran (target) agar harga gas industri jadi US$ 6 per MMBTU dalam 3 bulan ke depan dapat diwujudkan. Mungkinkah itu dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," kata ekonom konstitusi Defiyan Cori di Jakarta.
Dalam Ratas itupun, lanjut dia, Presiden Jokowi memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan harga gas tersebut kepada para pembantunya melalui 3 (tiga) opsi. Opsi pertama adalah pengurangan porsi jatah pemerintah yang sebesar US$2,2 per 1 Milion British Thermal Unit (MMBTu) dari hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) di sektor hulu.
Opsi kedua, kata Presiden, yaitu penerapan DMO atau Domestic Market Obligation, dan opsi ketiga adalah melakukan impor gas dari luar negeri. Namun, opsi ketiga ini sepertinya sengaja ditempatkan sebagai pilihan ketiga oleh Presiden sebagai opsi yang tak mungkin akan dilakukan, karena keluhan Presiden atas neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang defisitnya membengkak.
Dalam konteks opsi kebijakan harga gas industri ini, jeladls Jokowi l, kelihatan sekali Presiden memahami permasalahan industri hulu yang saat ini berada dalam penguasaan K3S. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah kemana mengalirnya porsi atau jatah Pemerintah yang sebesar US$ 2,2 per MMBTu itu selama ini?
"Jika porsi ini dikelola baik sejak dahulu, maka opsi penataan hulu gas ini akan mampu mengatasi persoalan harga gas dan pembangunan infrastruktur industri hulu gas atau energi. Apakah Presiden tidak memperhatikan secara serius bahwa kebijakan harga gas industri juga dipengaruhi oleh penguasaan gas di sektor hulu ini," tanya Defiyan lagi.
Apabila sektor hulu gas ini sepenuhnya berada dalam penguasaan BUMN, maka soal porsi pemerintah bukanlah faktor yang signifikan membuat harga gas yang mahal selama ini.
Menurut Defiyan, sepertinya opsi pengurangan porsi pemerintah ini tentu akan bermasalah bagi keuangan negara, meskipun Presiden memerintahkan Menteri Keuangan (Menkeu) untuk melakukan kalkulasi. Apalagi yang mungkin dikalkulasi dengan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 yang telah diajukan defisit sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)?
Hal ini perlu dipertimbangkan secara matang, cepat dan tepat agar tak membuat kontraksi pada keuangan negara. Yang paling mungkin juga dilakukan adalah mengurangi pors batas laba (profit margin) dari K3S itu sendiri dan melakukan pemetaan industri sektor apa dan klasifikasinya yang seharusnya memperoleh insentif harga gas dan mana yang tidak," papar Defiyan.
"Tugas pokok dan fungsi pemetaan inilah yang harus dilakukan oleh Kementerian Perindustrian yang selama ini tak pernah melakukannya," tegadls Defiyan.(helmi)