Kegagalan Pengereman dan Gagal Paham Pengemudi Dalam kasus Kecelakaan
Sabtu, 21 Maret 2020, 21:28 WIBBisnisNews.id -- Fenomena rem blong masih cukup dominan sebagai puahk yang menjadi "kambing hitam" dalam beberapa kasus kecelakaan, khususnya kendaraan besar seperti bus atau truk. Padahal, kasus gagal pengereman kendaraan itu banyak penyebabnya termasuk masalah eksternal yang menyertainya.
"Ada beberapa hal terkait resiko kegagalan pengereman bus/truk berdasarkan hasil investigasi KNKT. Pertama, yang akan dibahas disini adalah kegagalan pengereman pada kendaraaan besar (bus dan truk)," kata investigator KNKT Amad WIldan, ATD, MT kepada BisnisNews.id di Jakarta, Sabtu (21/3/2020).
Kedua, lanjut dia, kegagalan pengereman yang terjadi pada jalan menurun (merupakan kasus terbanyak) yang pernah diinvestasigasi KNKT. "Fakta inilah yang sering tidak diketahui, terutama oleh para pengemudi atau awak kendaraannya," kata Wildan lagi.
Lebih lanjut, Wildan menyebutkan, saat kendaraan berada di atas ketinggian air laut, maka dia akan memiliki energy potensial sebesar m x g x h. Jadi semakin tinggi tempatnya dan semakin besar massanya (besar muatannya), maka energy potensial yang akan dihasilkan juga akan semakin besar.
Pada saat kendaraan tersebut meluncur kebawah, jelas Wildan, maka akan muncul yang namanya energi kinetik yang besarnya adalah 1/2 m x v2. "Artinya, besaran energy kinetik yang muncul adalah berbanding lurus dengan 1/2 massanya dan kuadrat dari kecepatannya," kilah alumni STTD Bekasi itu.
Semakin besar massanya dan semakin tinggi kecepatannya, maka semakin besar energy kinetik yang akan ditimbulkannya. "Jika kendaraan tersebut akan dihentikan, menurut Wildan, maka sesuai hukum kekekalan energy, kedua energy tersebut akan berubah menjadi energy kalor/panas," jelas Wildan.
Sedang energy kalor yang ditimbulkan pada saat terjadi proses pengurangan kecepatan, terang Wildan, akan berpusat pada ruang tromol, dimana terdapat gesekan antara tromol dangan kampas rem.
Sementara, kemampuan menghentikan kendaraan tergantung banyak hal, termasuk kondisi kendaraan itu sendiri.
Mereka itu diantaranya adalah :
a. Kemampuan daya menekan kampas ke tromol (pneumatic maupun hydrolik)
b.Kemampuan daya tahan kampas terhadap panas, karena pada saat bergesekan, kampas akan mengalami panas, setiap peningkatan temperatur maka koefisien gesek kampas menurun, apabila panas yang ditimbulkan melebihi kemampuan ketahanan panas kampas.
Implikasinya, maka kampas akan mengalami overheat dan koefisien geseknya menjadi nol. Artinya, urai Wildan, maka permukaan kampas menjadi licin dan tromol akan terus bergerak sekalipun kampas menekan tromol. "Kita menyebutnya brake fading dan pengemudi menyebutnya rem blong," sebut Wildan.
Terjebak Pemahaman Keliru
Dalam kasus ini, menurut Wildan, seringkali pengemudi terjebak dengan pemahaman yang keliru, yaitu, pertama, "Bahwa kendaraan full air brake tidak mungkin mengalami rem blong. Dia akan nge-lock saat tekanan anginnya berkurang."
Kedua, "Pengemudi dan mekanik memodifikasi system rem dengan daya yang lebih besar, sehingga pede akan mampu menekan kampas pada turunan dengan gaya rem yang besar."
Sementara, mereka (pengemudi) lupa ada satu lagi faktor keselamatan pengereman, yaitu kemampuan/ketahanan panas kampas. "Hal ini menyebabkan kasus rem blong kita didominasi oleh kasus brake fading," tukas Wildan.
Di sisi lain, aku Wildan, "pengemudi tidak memiliki knowledge bahwa pihak otomotif telah mempersiapkan rem pembantu atau disebut non friction brake base. Yaitu engine brake dan exhaust brake dan sekarang ada teknologi baru berupa retarder untuk mengurangi nilai V pada saat turun.
"Implikasinya, energy kinetik yang dihasilkan menjadi kecil, otomatis energy kalornya juga kecil sehingga potensi kampas mengalami overheat menjadi kecil," tegas Wildan.(helmi)