Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Solusi Atasi Defisit
Kamis, 05 September 2019, 06:09 WIBBisnisNews.id -- Iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan mengalami kenaikan. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk menyelesaikan masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan yang terus menggelembung. Usulan kenaikan tersebut mencakup peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang menikmati fasilitas kesehatan (faskes) kelas III, serta peserta yang menikmati faskes kelas I dan II.
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kenaikan iuran tersebut dilakukan untuk mengatasi defisit, namun hal itu tidak akan serta merta menyelesaikan permasalahan di tubuh BPJS tersebut.
Menurut Staff Riset dan Advokasi Isu Kesehatan dan Perburuhan Indonesia for Global Justice (IGJ) Muhammad Teguh Maulana, “Akar permasalahan defisit BPJS Kesehatan sendiri tidak pernah diselesaikan. "Sebab sejak awal program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut dicanangkan, model pembiayaan yang dipilih memiliki potensi untuk mengalami kerugian yang besar," katanya di Jakarta, Rabu (4/9/2019) malam.
“Harusnya pemerintah meninjau ulang model pembiayaan JKN, khususnya BPJS Kesehatan saat ini yang menggunakan sistem iuran atau pembayaran premi asuransi. Sebab dengan membebankan biaya jaminan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah seperti melepaskan kewajibannya untuk menjamin akses kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat."
Bahkan dengan menggunakan model saat ini juga, aku Teguh, pemerintah tidak ada bedanya dengan menerapkan logika ekonomi pasar yang menganggap bahwa jaminan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang dapat difinansialisasikan.” Tambah Teguh.
BPJS Kesehatan Sejak Awal Berpotensi Rugi
Pangkal mula permasalahan defisit tersebut ditarik ke rendahnya anggaran kesehatan Indonesia. “Dari 2.200 triliun rupiah APBN tahun 2018, anggaran kesehatan hanya 110 triliun rupiah. Sedangkan jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan hanya 2,8% dari GDP.
"Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 USD perkapita. Sedangkan idealnya proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP itu sekitar 10%,” sebut Teguh.
Ada dugaan bahwa BPJS Kesehatan memang sejak awal dirancang untuk bangkrut. Menurut Teguh, “Hal itu merujuk kepada perhitungan aktuaris yang menunjukkan bahwa premi yang dibayarkan tidak akan pernah cukup menutupi pembiayaannya. Sehingga diperhitungkan seberapa banyak apapun pemerintah menalangi defisist BPJS Kesehatan tidak akan pernah mencukupi.
Sebagai contoh, sebut Teguh, pada 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp16,5 triliun. Meskipun pemerintah telah menggelontorkan dana talangan sebesar 9,2 triliun rupiah tahun lalu untuk menutupi defisit, masih terdapat defisit sebesar 7 triliun rupiah. Defisit kemudian terbawa ke 2019, dimana pada dua bulan pertama tahun ini saja defisit BPJS Kesehatan sudah mencapai 2 triliun rupiah. Jika tetap dibiarkan, pada tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan akan menembus angka Rp20 triliun.”
Untuk menekan defisit, BPJS Kesehatan sejak tahun lalu mulai mengurangi manfaat atau tanggungan bagi obat-obatan untuk pasien pesertanya. Padahal menunurut Teguh, “jika melihat sistem penjaminan BPJS Kesehatan yang menggunakan model Indonesia Case Base Group (INA-CBGs) , maka tarif pelayanan kesehatan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dalam satu paket (meliputi biaya konsultasi dokter, biaya obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), biaya pemeriksaan penunjang, akomodasi atau kamar perawatan dan biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien)."
"Dengan adanya pengurangan manfaat, akan menjadikan jumlah penjaminan layanan kesehatan yang dibayarkan dalam satu paket tersebut, termasuk obat-obatan yang digunakan, akan menjadi semakin terbatas,” tegas Teguh.(helmi)