Ketidaksetaraan Pendapatan Mengancam Eksistensi Globalisasi
Kamis, 29 Desember 2016, 00:08 WIBBisnisnews.id - Deutsche Asset Management yakin bahwa globalisasi berada di bawah ancaman serius dan manfaat globalisasi harus dijelaskan lebih baik ke masyarakat.
Josh Feinman, kepala ekonom Deutsche Asset Management, mengatakan dalam sebuah artikel di Business Insider, bahwa sentimen anti-globalisasi telah membuat reaksi kemarahan politik yang mengakibatkan keinginan Inggris meninggalkan Uni Eropa, Pemilihan AS Donald Trump, munculnya populis serta partai-partai nasionalis di Eropa dan Asia.
Dia menambahkan bahwa sikap oposisi terhadap globalisasi bukanlah satu-satunya penyebab tapi memainkan peran kunci yang intinya adalah globalisasi telah terkepung.
Feinman yakin pemicu utama perlawanan terhadap globalisasi adalahnya meningkatnya ketidaksetaraan. Dia menunjuk ukuran standar ketidaksetaraan dari OECD dan Bank Dunia, bahwa selama 30 tahun terakhir, di mana distribusi pendapatan tidaklah merata terutama di Cina dan AS.
Feinman mengakui bahwa globalisasi telah memainkan peran dalam melebarkan ketimpangan: " Terutama di negara maju, di mana orang berpenghasilan atas telah menuai keuntungan yang tidak proporsional, dan metrik ketidaksetaraan kembali ke tingkat yang tidak terlihat sejak awal abad ke 20. "
Namun, pada globalisasi tingkat makro, sebagian negara telah mengurangi ketimpangan. Feinman mengatakan: "Secara umum, negara-negara miskin yang diliberalisasi dan menjadi bagian dari sistem global, telah tumbuh lebih cepat dari perekonomian yang lebih maju. Meskipun Asia dan Eropa Timur bertanggung jawab untuk mengejar kesenjangan mencolok tentang standar hidup rata-rata antara negara berkembang dan negara maju. "
Feinman mengatakan globalisasi telah menjadi sasaran empuk bagi politisi sayap kiri dan kanan karena manfaat yang didapat dari perdagangan dan substansial yang sulit untuk ditentukan. Mereka yang kalah dalam perdagangan, meskipun kecil jumlahnya, malah mudah untuk diidentifikasi karena vokal dan tidak terkompensasi.
Feinman mengatakan lagi, " Akibatnya secara ekonomi, globalisasi itu sendiri mungkin akan kehilangan momentum. Perdagangan internasional melambat, sulit melampaui pertumbuhan GDP global dalam beberapa tahun terakhir, investasi melemah dan jatuhnya harga komoditas. "
Tapi Feinman lebih mengkhawatirkan kebijakan yang bergeser terhadap globalisasi. Seperti pengurangan tarif, hambatan non-tarif, langkah-langkah perdagangan diskriminatif, membatasi imigrasi, memperketat kontrol modal (seperti China), dan perjanjian perdagangan lambat diadopsi. Bukti paling nyata adalah kegagalan liberalisasi perdagangan Doha dan keputusan AS untuk tidak meratifikasi TPP.
Feinman menyerukan, " Manfaat globalisasi harus lebih dijelaskan ke publik, risiko meninggalkan globalisasi harus lebih jelas diterangkan, dan negara minoritas yang dirugikan akibat perdagangan bebas dan pasar terbuka lebih baik dikompensasi kerugiannya."
Feinman bukan satu-satunya yang membuat argumen ini. Mantan Kanselir, George Osborne mengatakan pada awal tahun ini: " Jika kita tidak membuat upaya supaya orang percaya pada perdagangan bebas, maka mereka yang menentang perdagangan bebas akan melibas apa yang telah kita buat." (Marloft/syam)