Kompetisi Meningkat, Operator Indonesia Hadapi Tekanan
Kamis, 02 Maret 2017, 17:44 WIBBisnisnews.id - Operator penerbangan Indonesia menghadapi tekanan serius pada tahun 2016, di saat kapasitas bertumbuh di tengah-tengah persaingan kuat dan pertumbuhan ekonomi negara tengah jatuh di bawah ekspektasi.
Pendapatan dua operator terbesar di Indonesia, Lion Group dan Garuda Indonesia telah jauh dari kemudahan di 2 tahun terakhir. Kebanyakan berfokus menjaga agar biaya tetap rendah untuk mengimbangi penurunan pendapatan. Depresiasi rupiah terhadap dolar juga kurang membantu.
Garuda belum merilis laporan keuangan 2016, sementara pendiri Lion Group, Rusdi Kirana mengatakan kepada flightglobal awal tahun ini bahwa pendapatan Lion Air, Batik Air dan Wings Air tergolong impas di tahun 2016. Hal ini cukup kontras ketika tahun 2014, ia mengatakan bahwa maskapainya untung dengan pendapatan 10, 20 kali lebih dari Garuda.
CEO Garuda, Arif Wibowo mengatakan bahwa 2016 telah menjadi tahun perjuangan untuk Garuda dan Citilink. Namun ia masih menargetkan keuntungan bagi kedua maskapai.
Kapasitas domestik Indonesia melonjak 13,7% menjadi 104.3 milyar pada tahun 2016, lebih tinggi 9,4 persen dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya. Hal ini sebagian besar disebabkan pertumbuhan kapasitas Citilink, Batik Air dan Sriwijaya Air lewat pengiriman pesawat baru.
Tahun ini, Lion menargetkan untuk meningkatkan kapasitas sebesar 30 persen lewat utilisasi pesawat dari 8 ke 10 jam. Rusdi mengakui ada kelebihan kapasitas pasokan, dan ia mengharapkan konsolidasi lebih lanjut di pasar, di mana hanya maskapai terkuat yang akan bertahan.
Lion telah memesan 435 pesawat lagi, tetapi sebagian besar digunakan untuk Malindo Air, Malaysia.
" Strategi saya adalah menjaga biaya serendah mungkin," kata Rusdi. " Beberapa hal-hal seperti ekonomi yang berada di luar kendali, tapi kami terampil membuat maskapai bertahan dalam hal biaya, kehandalan dan keamanan. Jika bisa melakukan itu, meskipun perekonomian tidak sebagus seperti yang diharapkan, kami masih bisa bertahan," katanya.
Demikian pula Garuda telah mengurangi armada dan biaya overhead, termasuk restrukturisasi organisasi, rute efisiensi optimal dan meningkatkan pendapatan kargo, " Saya harus memastikan bahwa meskipun pendapatan turun, kita bisa menutupi kekurangannya dengan hal-hal lain," kata Arif.
Operator terbesar ketiga, Sriwijaya tidak mempublikasikan laporan keuangan, tetapi mengatakan bahwa 2016 adalah tahun terbaik dalam hal profitabilitas, bahkan telah menargetkan menjadi operator paling menguntungkan di Indonesia.
Sriwijaya mengatakan hal itu dikarenakan 50 persen penerbangan charter wisatawan China ke Indonesia dan charter dari perusahaan tambang. Sriwijaya kebanyakan beroperasi dengan Boeing 737 yang lebih tua dan murah, menyewanya, dan pertumbuhan armada pun fleksibel menyesuaikan permintaan pasar.
Sriwijaya dan Nam Air yakin tetap banyak kesempatan di dalam negeri, mengingat pertumbuhan Indonesia dengan 250 juta penduduk dan pertumbuhan ekonomi tahunan di sekitaran 5 persen.
Tahun 2017, Sriwijaya agresif mengambil 15 unit B737, sementara Nam dengan 12 ATR 72-600s. Fokusnya masih pada penerbangan dalam negeri, dengan rute internasional hanya Medan - Penang. Merejka juga akan mendaftarkan diri di Bursa Efek Indonesia pada bulan Mei.
" Hal ini agar kami dapat mengumpulkan uang untuk mengambil lebih banyak pesawat. Setelah IPO, kami akan dapat melipatgandakan armada dalam waktu tiga tahun," kata Jefferson Jauwena, Direktur Sriwijaya bagian perencanaan dan pengembangan bisnis.
" Tujuannya adalah menjadi maskapai paling menguntungkan di Indonesia. Ini bukan soal tentang berapa besar perusahaan, melainkan seberapa sehat," katanya. (marloft)