Krisis Tak Jadi, Corona Dituding Sebagai Kambing Hitam
Senin, 04 Mei 2020, 05:42 WIBBisnisNews.id -- Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan Peraturan Pengganti UU (Perpu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Perpu tersebut diterbitkan dengan alasan terjadi darurat keuangan, darurat moneter dan darurat fiskal.
Krisis ekonomi yang menakutkan ternyata tidak terjadi. Kondisi masyarakat bahkan ancaman PHK tak seburuk yang digambarkan sebelumnya. Ironis kalau Pemerintah harus mencetak utang baru yang akhirnya harus dibayar rakyat melalui APBN.
Corona dituduh sebagai biang kerok atau kambing hitam dari segala macam masalah ekonomi, keuangan, moneter, fiskal yang terjadi di Indonesia. "Corona dituduh penyebab nilai tukar ambruk, bursa saham merosot, utang membengkak, industri bangkrut," kata peneliti AEPI Salamuddin Daeng di Jakarta.
Dikatakan, kurs Rupiah diprediksi merosot ke Rp20 ribu per USD, defisit APBN diprediksi membengkak diatas 5% GDP, mereka pengusaha mengklaim 15 juta orang terkena PHK. Presiden Jokowi mengatakan akan terjadi krisis pangan sangat besar.
"Semua hal yang paling buruk yang menimpa Indonesia ini karena Corona. Terdengar nada nada akan ada kerusuhan, chaos, akibat kondisi ekonomi yang hancur lebur," kata Daeng menirukan.
Semua kebangkrutan ekonomi ini diklaim karena Corona. Bukan karena tata kelola yang buruk, target anggaran yang ambisius, korupsi dimana mana, penggelapan pajak, pelarian keuntungan hasil pencurian kakayaan alam hasilnya dilarikan ke luar negeri.
Semua itu, esensinya yakni kejahatan keuangan, penjarahan kekayaan alam, peras BUMN, terjadi sehari secara telanjang di depan mata rakyat Indonesia," jelas Daeng lagi.
Dengan Perpu tersebut Pemerintah berencana mengambil utang sampai Rp1.006 triliun lebih, menalangi (bailout) sektor keuangan Rp405 triliun lebih. "Bahkan dengan Perpu tersebut BI diusulkan untuk mencetak uang hingga ribuan triliun sebagai dana stimulus keuangan bagi bank, perusahaan, dan bagi APBN yang diprediksi gagal bayar utang," sebut Daeng.
Ternyata semua yang digambarkan elite ini, menurut Daeng tidak terjadi. Rupiah meski turun sedikit tapi masih stabil di angka Rp15 ribu per USD. APBN turun sedikit dibandingkan tahun lalu akibat pelemahan harga minyak, dan penurunan pajak kepada pengusaha besar.
"Sejauh ini, belum ada satu bank pun memperlihatkan masalah kesulitan liquiditas. Orang orang masyarakat umum tetap bayar kredit sebagaimana biasanya. Permintaan utang bertambah akibat dua bulan belakangan tidak bekerja," papar Daeng.
Kondisi Ironis Selama Pandemi Corona
Ironisnye lagi, terang penliri AEPI itu, konsumsi listrik masyarakat meningkat selama Corona. Dan, PLN tidak jadi kehilangan revenue. "PHK yang digambarkan 15 juta orang, setara dengan jumlah penduduk DKI+Depok+ Bekasi+ Tanggerang, ternyata karangan pengusaha untuk menakut nakuti Pemerintah, supaya mau talangi utang pengusaha," terang Daeng.
Dia menambahkan, jadi tidak jadi dong bangkrut Pemerintah dan perusahaan? Indomaret dan Alfamart orang belanja masih rame antri tiap hari. Hasil panen padi petani agak lumayan tahun ini. "Gara gara diam di rumah merokok jadi banyak perusahaan rokok tambah kaya, karena rajin buka WhatsApp jadi beli pulsa banyak dan Telkom untung besar," urai Daeng yang juga dosen Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta itu.
"Mungkin pemerintah dan pengusaha yang gagal bayar utang tahun depan 2021. Lantas, siapa suruh mereka ugal ugalan. Jangan salahkan rakyat, apalagi membebankan utang kepada rakyat. Aparat jaga itu semua lini, jangan sampai mereka bawa kabur uang ke luar negeri," tegas daeng.(helmi)