Media Sosial Dan Persekusi
Senin, 05 Juni 2017, 20:06 WIBOleh: Kentos Artoko
Penulis adalah wartawan senior, Pemerhati Komunikasi Politik dan kini pengajar di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.
Bisnisnews.id-Perang dalam media siber antar pendukung yang terjadi pasca Pilkada DKI-Jakarta, ternyata makin menjadi usai terpilihnya pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menggantikan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Syaiful Hidayat.
Penggunaan media sosial (medsos) yang semula hanya untuk menarik simpati dan menaikkan elektabilitas pasangan, kini berubah menjadi saling hujat dan saling mengumbar keburukan tokoh yang menjadi ikon masing-masing pasangan.
Seorang tokoh agama yang memiliki isteri lebih dari satu menjadi bahan ejekan (bullying) dari pendukung pasangan lainnya. Kisahnya dibuatkan parodi, kemudian menjadi viral di media sosial. Ironisnya pemeran dari parodi tersebut adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Tidak terima tokohnya dijadikan bahan bullying, jamaah sang tokoh lalu membuat dan merekam video tandingan yang berisi, bila pemeran tidak memohon maaf maka akan diburu terus hingga dapat.
Kontan saja, pemeran parodi yang ketakutan, kemudian mendatangi markas tokoh agama tersebut dan berupaya untuk meminta maaf, akan halnya sang tokoh agama memberikan maaf secara tulus dan kemudian memberikan buah tangan kepada pemeran adegan parodi itu.
Bukan hanya itu, kesaksian isteri mantan Gubernur DKI-Jakarta Ahok pun menjadi bahan bullying dari pihak pesaing dalam ajang kontestasi perebutan kursi gubernur. Tindakan saling hujat dalam media sosial seakan tidak mengenal waktu dan jeda, meski kita sudah memasuki bulan Ramadhan.
Penggunaan media sosial tersebut dilakukan mengingat jaringan yang luas dan tidak terbatas, sifatnya seketika (instan) serta memiliki klasifikasi tersendiri bagi pembaca, pendengar dan pemirsanya. Kelebihan inilah yang digunakan oleh para pengguna media sosial untuk menyebarkan informasi (Lazarfeld, 2007).
Tindakan membully seseorang atau sekelompok, dalam ajaran agama apapupn dan etika sosial, tidak dapat dibenarkan. Namun, ditengah arus dunia maya yang tanpa batas, maka siapa saja bisa dengan mudahnya menyiarkan dan menayangkan adegan apapun dalam lingkup dunia maya.
Persekusi
Hari-hari belakangan ini, dunia maya pun dipenuhi oleh suasana mencekam, dimana seseorang atau sekelompok yang dengan sengaja mengunggah tayangan tidak senonoh akan diburu sampai ke liang lahat sekalipun. Tindakan pemburuan ini dikenal dengan nama persekusi. Tindakan ini telah menyebar ke seluruh bagian di wilayah Indonesia dan menebar ancaman yang sangat serius bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Seseorang tokoh, bisa dengan mudahnya memberikan imbalan kepada sekompok orang yang dipercaya untuk memburu pihak lain yang telah dengan sengaja melakukan bullying.
Jaringan relawan kebebasan berekspresi (SAFENET) telah meminta pemerintah untuk mewaspadai aksi persekusi yang terjadi pasca pilkada DKI-Jakarta yang mereka sebut The Ahok Effect, karena tingkat ancamannya amat serius.
Persekusi tersebut dilakukan dengan, pertama, melacak (tracking) pengguna media sosial yang dengan sengaja menghina tokoh agama, tokoh politik dan ikon suatu gerakan politik. Kedua, memberikan instruksi kepada anggotanya untuk memburu target yang telah dibuka indentitasnya dengan mencantumkan foto, alamat, nomor telepon dan identitas lainnya. Ketiga, adalah dengan menggerebek dan menggelandang dari rumah ke tempat yang telah ditentukan. Keempat dibawa ke pihak yang berwajib dan dikenakan pasal 28 UU ITE atau pasal 156 a KHUP (penodaan agama).
Perlindungan
Sebagai satu negara hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan mengingat ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang pelaku pengunggah bullying yaitu mediasi, somasi dan pengadilan. Untuk itu diperlukan upaya dan perlindungan hukum bagi masyarakat dan pengguna media sosial untuk menjamin kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab.
Apabila hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi tindak penghakiman sendiri di masyarakat dan terancamnya nyawa seseorang dan sudah tentu hal ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Secara politis, tindakan persekusi merupakan bentuk intimidasi tidak langsung yang secara tidak kasat mata memiliki motif politik tertentu. Bukan hal yang mustahil, bila tidak diberikan koridor hukum tindak persekusi yang melibatkan banyak orang akan menghadirkan suasana mencekam.
Situasi dan kondisi tertekan itu dapat dengan mudahnya digunakan oleh satu kelompok atau golongan untuk 'menggiring' pada tindak politik tertentu. Disamping itu upaya persekusi dapat dilihat sebagai upaya untuk mendelegitimasi peran aparat penegak hukum.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi dituntut untuk segera membuat aturan terkait masalah ini, disamping jaminan keamanan dari pihak yang berwajib sebelum seseorang dinyatakan bersalah secara hukum.
Atau mungkin upaya persekusi tersebut merupakan bagian dari strategi politik suatu kelompok tertentu untuk memberikan citra kepada masyarakat bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Semoga saja pemerintah dan aparat penegak hukum cepat tanggap mengantisipasi masalah ini melalui mekanisme yang benar.(*)