Membangun Kearifan Intelektual Pada Lulusan Sekolah Perhubungan, Darimana memulainya ?
Jumat, 06 Maret 2020, 11:19 WIBBisnisNews.id -- Kearifan intelektual bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan IQ (Intelligence Quotient), bukan pula suatu ketrampilan atau ketangkasan untuk menjawab suatu pertanyaan atau soal ujian.
Kearifan intelektual adalah suatu kemampuan untuk dapat memahami dan menjalankan suatu profesi dengan perilaku yang dapat diterima akal sehat yang berbasis ilmiah, sensitive terhadap permasalahan lingkungan kerjanya serta mengedepankan etik dalam bekerja.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka seorang ahli keselamatan transportasi jalan yang arif adalah seorang professional yang memperhatikan dan peduli terhadap permasalahan keselamatan transportasi jalan dan dengan kemampuannya dia mampu memberikan kontribusi yang nyata melalui kinerja yang berbasis ilmiah dan up to date.
Baca Juga
Mereka tidak segan-segan menggunakan teknologi informasi untuk mencari literature terbaru dan meminta pendapat mereka yang lebih ahli pada bidang tertentu yang terkait dengan permasalahan yang dihadapinya. Merasa resah dan gelisah saat melihat penyeberang jalan yang berjalan di badan jalan, melihat becak berjalan berdampingan dengan tronton dan lainnya.
Inilah sejatinya yang disebut dengan etika intelektual. Sama halnya dengan seorang dokter yang tidak akan membiarkan pasiennya meregang nyawa di depan matanya tanpa mengambil suatu tindakan apapun atau seorang penjaga pantai (life guard) yang akan langsung terjun ketika melihat seseorang tenggelam.
UNESCO melalui program Foundation of The World Comissions in The Ethics of Scientific, Knowledge and Technology ( COMMET ) telah menekankan agar negara-negara anggotanya menjadikan etika intelectual sebagai prioritas dalam pengembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Sebab kebutuhan adanya prinsip etik dan pedoman dalam kemajuan ilmu teknologi belum sepenuhnya diterapkan khususnya pada negara-negara berkembang.
Sehingga, perubahan social budaya, revolusi teknologi informasi, otomotif dan komunikasi justru melahirkan berbagai masalah dan issue baru seperti kemacetan, kecelakaan, lingkungan, energy dsb. Masalah dan issue ini bahkan sudah terjadi pada skala makro (nasional dan global) dan mempunyai dampak moral, legal, social, ekonomi, psikhologis, budaya dan lainnya.
Pemanfaatan ilmu, pengetahuan dan teknologi tanpa diikuti dengan etika intelektual dan pedoman dalam pemanfaatannya ternyata melahirkan suatu masalah yang jauh lebih besar dari sebelum ditemukannya teknologi tersebut.
Merujuk kepada taksonomi yang dibuat oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956, pada dasarnya tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah) yaitu :
Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti gairah, minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Perhubungan telah menetapkan Standar Tenaga Pendidik untuk memenuhi kebutuhan yang pertama dan ketiga. Mulai dari persyaratan akademis, kompetensi, pengalaman dll. Bahkan untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya tidak sedikit pelatihan yang disediakan.
Namun untuk memenuhi kebutuhan yang ke dua, yang justru menjadi perhatian utama saat ini oleh UNESCO kita belum mengambil suatu standar atau kebijakan yang terkait pembentukan ranah afektif. Saat ini memang telah di BKO kan tenaga-tenaga dari TNI untuk membangun karakter peserta didik. Apakah itu cukup ?
Lalu siapa yang akan membangun etika intelektual pada sekolah kedokteran? Sekolah perawat? Dan sekolah-sekolah lainnya? Mampukah seorang bintara atau perwira TNI mengarahkan dan membangun etika intelektual seorang peserta didik terkait dengan profesionalismenya?
Jawabannya tentu saja tidak, itu mutlak menjadi tanggung jawab dosen yang mengampunya.
Sebagai ilustrasi, penulis adalah dosen yang mengampu mata kuliah Inspeksi Keselamatan Jalan. Setelah 5 pertemuan teori di kelas, memberi mereka sebuah tugas. Pertama, bagi kelompok dimana satu kelompok hanya terdiri dari 2 (dua) orang.
Kemudian saya tugaskan mereka turun ke jalan dan simpang, saya minta mereka mencari apa saja masalah yang dapat mereka temu kenali. Selanjutnya mereka mulai menyusun deskripsi dan memaparkan satu per satu.
Yang saya lakukan terhadap setiap hasil kelompok adalah, pertama memberi apresiasi yang tinggi, kedua membantu mengarahkan mereka “membaca” masalah/hazard yang tersembunyi yang tidak terdeteksi oleh mereka, ketiga mendeskripsikan atau memvisualisasikan dampak dari hazard/masalah tersebut.
Ternyata hal tersebut bisa membangkitkan minat dan passion mereka. Selanjutnya mereka saya minta membuat desain perbaikan dengan mencari referensi dari internet atau sumber lainnya, hasilnya luar biasa. Bukan karya mereka yang luar biasa, karena secara akademis karya mereka masih sangat mentah.
Namun yang luar biasa, mereka menjadi peka terhadap issue keselamatan jalan. Mereka menulis dan mengkritisi melalui jejaring social tentang berbagai masalah keselamatan transportasi jalan.
Yang terbaru, ketika mereka kesulitan dalam memanfaatkan dan menggunakan data IRSMS (Integrated Road Safety Management System) suatu program analisis data kecelakaan lalu lintas yang dikembangkan oleh Polri, mereka justru menciptakan program baru yang mirip tapi lebih user friendly dan simple dalam penggunaannya.
Saya bukan seorang ahli programmer, tidak mampu menilai mana yang lebih baik, namun pastinya IRSMS jauh lebih baik karena didesain oleh ahli dibidangnya dan didukung dana yang tidak sedikit.
Namun, saya sangat meng apresiasi karya mereka karena mereka memiliki passion untuk membuat suatu karya meskipun tidak ada yang memerintahkan dan tidak memberikan kompensasi financial bagi mereka, semata hanya karena rasa ketidakpuasan terhadap data kecelakaan yang mereka peroleh yang dalam pandangan mereka tidak cukup valid untuk dijadikan referensi dalam suatu analisis kecelakaan.
Mereka sudah mulai terbangun etik intelektualnya. Dan, dengan penanganan yang benar etik itu akan membentuk snow ball effect hingga mereka benar-benar menjadi seorang ahli keselamatan transportasi jalan yang berintegritas.
Itulah sekilas gambaran, tantangan tenaga pendidik PKTJ dan STTD kedepan. Tidak cukup hanya memenuhi standar tenaga pendidik sebagaimana dipersyaratkan oleh Standar Nasional Pendidikan dan memenuhi standar kompetensi sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan untuk membangun ranah cognitive dan psikomotorik, namun juga memiliki kemampuan untuk membangun ranah afektif.
Untuk itu, seleksi dosen tidak cukup hanya dinilai melalui kemampuan akademis dan kompetensinya saja, tetapi etik intelektualnya karena menyalurkan passion positif hanya bisa dilakukan oleh pribadi yang memiliki etik intelektual yang baik.
Salam Perubahan !!
*Ahmad Wildan, ATD, MT, Investigator senior di KNKT