Menelisik Carut Marut Moda Transportasi Penyeberangan di Indonesia
Kamis, 05 Juli 2018, 13:28 WIBBisnisnews.id - Kecewa, sedih dengan terus terjadinya kecelakaan kapal penyeberangan yang menyisahkan duka mendalam para keluarga penumpang dalam tiga pekan di pertengahan Juni dan awal Juli 2018, menggambarkan betapa carut-marutnya wajah trasportasi Indonesia.
Seperti telah dilansir Bisnisnews sebelumnya, 18 Juni - 3 Jui 2018 telah terjadi tiga kali kecelakaan kapal penyeberangan yang menewaskan ratusan penumpangnya. Yaitu, tragedi KM Sinar Bangun di kawasan wisata Danau Toba Sumatera Utara pada 18 Juni 2018, menewaskan dan menenggelamkan ratusan penumpngnya dan sampai saat ini belum ditemukan.
Peristiwa kedua, kecelakaan kapal KM Berkat Anugerah yang ditumpangi 13 orang termasuk ABK terbalik di perairan Mentuda Kabupaten Lingga, Minggu 24 Juni 2018, satu orang penumpang tewas dan seluruh muatan berupa hasil pertanian dan BBM hanyut terbawa ombak. Kapal tersebut berlayar dari Nipah Panjang, Jambi menuju Kota Batam Kepulauan Riau
Tragedi ketiga adalah, kandasnya kapal penyeberangan KM Lestari Maju di perairan Selayar Sulawesi Selatan pada hari Selasa, 3 Juli 2018 sekitar pukul 13.00 menewaskan sedikitnya 35 orang penumpang. Kapal jenis roll on-roll (Ro-Ro) itu diduga selain megalami kebocoran pada lambung dan hantaman ombak juga kelebihan muatan. Sebab jumlah korban selamat maupun meninggal dunia yang berhasil dievakuasi tim SAR gabungan bersama masyarakat nelayan setempat lebih besar dari daftar manifest kapal.
Selain menyisahkan duka mendalam, tragedi itu juga hingga saat ini belum diketahui berapa nilai kerugian matrilkasus kecelakaan dua kapal penyeberangan dan satu kapal kargo pada lintas penyeberangan tersebut. Pihak tim SAR maupun Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hingga kini masih melakukan pencarian korban dan investigasi untuk mengetahui penyebab terjadinya kecelakaan. Khusus tragedi Danau Toba, penyidik kepolisian telah memeriksa sejumlah petugas di Dinas Perhubungan setempat.
Penyebab lain dari seringnya kasus kecelakaan kapal penyeberangan di daerah, baik kapal yang memiliki klas maupun non klas atau kapal rakyat adalah lemahnya sistem pengawasan dan pelaksanaan standar keselamatan trasportasi oleh regulator di lingkup Dinas Perhubungan.
Bahkan untuk lintas penyeberangan yang didominasi kapal-kapal non klas atau kapal rakyat di bawah 35 GT, benar-benar tidak ada pengawasan dari otoritas setempat. Pada dermaga penyeberangan, umumnya hanya ada sekelompok oknum "preman-preman" yang mengatur, menjual tiket kapal. Kalaupun ada petugas Dinas Perhubungan di lokasi, tidak menjalankan fungsinya sebagai pengawas yang mengawasi kelaikan kapal.
Sangatlah wajar, kalau kasus kecelakaan kerapkali mewarnai wajah transportasi penyeberangan antar pulau, danau dan sungai di seluruh daerah di Indonesia. Kalau masala ini tidak segera dibenahi secara tegas, termasuk hak dan kewenangan, bukan tidak mungkin, peristiwa yang lebih mengerikan akan terus terulang.
Sebab, kasus kecelakaan yang menyisahkan kepedihan dan duka cukup mendalam ini, bukan pertamakali terjadi. Carut-marut transportasi peyeberangan di Indonesia, bagaikan 'bom waktu' yang akan meledak. Lagi-lagi semua sibuk, mengaku prihatin dan setelah itu dilupakan. Kondisi seperti ini bukan tidak diketahui para pejabat dan pembuat kebijakan, di pemerintahan pusat maupun daerah, karena ini adalah peyakit lama yang sudah menahun serta tidak pernah diobati secara tuntas.
Maraknya kecelakaan ini juga buah dari pemberian kewenangan penuh Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dalam penyelenggaraan pengawasan sesuai UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali dilakukan perubahan, yaitu dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Melalui Undang-undang itu, masing-masing Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan pemerintahan, termasuk pelaksanaan pengawasan moda transportasi di daerahnya. Dalam Undang-undang itu juga, Pemerintah Daerah mendapat peluang berekspresi dalam membangun daerahnya.
Penyakit lama yang menahun di lingkup transportasi penyeberangan bisa dilihat gambarannya dengan terus terulangnya kasus kecelakaan serupa. Kasus kecelakaan itu bukan menjadi pelajaran untuk diperbaiki tapi seakan-akan untuk dilupakan. Sebab, terlalu banyak contoh kasus kecelakaan yang dilupakan begitu saja, kemudian terjadi lagi dan menyisahkan duka.
Kalau menelisik kebelakang, pada awal tahun, tepatnya Senin 1 Januari 2018, pukul 08.30 Wib, sebuah kapal cepat Anugrah Express rute pelayaran Tanjung Selor – Tarakan mengalami kecelakaan di perairan Sungai Sesayap, sekitar 200 meter dari Dermaga Tanjung Selor, Kalimantan Utara.
Ini adalah tragedi kecelakaan transportasi laut yang mengawali tahun 2018 di perairan Tanjung Selor. Kapal berbobot 6 GT tanda selar No.028 KLU-36 GT sesuai manifest mengangkut 51 penumpang termasuk awak kapal. Yaitu 43 orang dewasa, lima penumpag anak-anak dan tiga Awak Kapal, sedikitnya delapan orang meninggal dunia.
Periode yang sama, tahun 2017, tepatnya 1 Januari 2017 tercatat 23 orang penumpang tewas dalam kasus kecelakaan kapal KM Zahro Express yang terbakar di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Pada 18 Mei 2018, Kapal Roro KM Dharma Kencana rute pelayaran Semarang - Sampit, mengalami kebakaran sekitar pukul 12.00 Wib yang lokasinya sekitar 20 mil dari pelabuhan Sampit.
Sejarah panjang kasus kecelakaan kapal, harus dihentikan. Setidaknya, perlu dilakukan langkah konkret terhadap sistem penerapan pengawasan standar keselamatan transportasi air di Indonesia. Jangan karena adanya otonomi daerah lalu membiarkan dan melepas begitu saja kewenangan pengawasan kepada Pemerintah Daerah.
Tiga peristiwa kecelakaan memilukan yang terjadi dalam 16 hari di pertengahan Juni dan awal Juli 2018, harus menjadi momentum dimulainya pembenahan mendasardan menyeluruh. Kebijakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dengan membentuk tim Ad Hoc yang bertugas mengammbil alih sementara sistem pengawasan kapal di kawasan wisata Danau Toba, adalah langkah yang sangat strategis tapi harus ditindak lanjuti ke seluruh daerah secara permanen.
Artinya, Kementerian Perhubungan harus punya taring membuat perubahan mendasar dari sisi regulasi maupun tindakan dengan mengambil alih seluruh kewenangan di sektor itu. Termasuk juga berani dan bijak melimpahkan pengawasan transportasi angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) dari Ditjen Perhubungan Darat ke Ditjen Perhubungan Laut.
Pasalnya, secara teknis transportasi di air (ASDP) dikuasai dan dimiliki Ditjen Perhubungan Laut yang pengawasannya dapat dilakukan melalui Kantor Syahbandar dan otoritas. Seperti juga di Danau Toba sekarang ini, yang ditempatkan di kawasan wisata itu adalah para petugas dari Kantor Syahbandar Ditjen Perhubungan Laut, karena Ditjen Perhubungan Darat memang tidak memilikinya.
Terkait pengawasan penyeberangan di daerah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam keterangan tertulisnya, memanggil seluruh Kepala daerah untuk mengevaluasi keselamatan pada sektor transportasi di seluruh daerah.
Harapannya, pertemuan dengan kepala daerah itu membuahkan hasil yang baik untuk melakukan pembenahan total sistem pengawasan dan penanganan keselamatan standar transportasi di Indonesia, khususnya transportasi penyeberangan sehingga tidak ada lagi kasus kecelakaan yang menyisahkan duka para penumpangnya. (Syamsuri S Ari)