Merindukan Angkutan Umum Yang Aman dan Nyaman
Rabu, 21 Februari 2018, 15:00 WIB
Oleh : Joko Setijowarno
*) Penulis adalah peneliti, pengajar dan penggiat keselamatan transporrasi umum massal
Bisnisnews.id - Tatkala ada tawaran transportasi umum yang murah dan mudah didapat seperti ojek online dan taksi online atau angkutan sewa khusus (ASK), publik senangnya bukan main tanpa dipikir risikonya. Baik sebagai penumpang, pengemudi atau pebisnisnya.
Ada kesalahan masa lalu yang tidak memantau atau mengawasi layanan operasi transportasi umum. Keluhan publik terhadap layanan angkot, AKAP, AKDP, angkutan pedesaan dan taksi reguler tidak direspon dengan baik.
Perijinan dianggap sebagi sumber pendapatan oleh oknum. Juga termasuk oknum kepala daerah juga memanfaatkan situasi tersebut terlebih jelang pilkada.
Sekarang mestinya momentum yang baik untuk berbenah diri menata transportasi umum yang humanis. Tidak ada yang terlambat. RPJM Nasional 2015-2019 sudah mengamanatkan pula tersedianya layanan transportasi umum. Bahkan, targetnya share moda transportasi umum 32 persen.
Angkutan umum merupakan kewajiban pemerintah termasuk pemerintah termasuk pemda sesuai amanah pasal 138 dan 139 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sudah sering diingatkan, tetapi yang diingat kala itu besaran perijinan untuk pundi-pundi PAD, ketimbang melaksanakan kewajiban sesuai amanah UU LLAJ. Lebih parah lagi perijinan identik dengan pungli.
Angkutan Umum di Kota Paris dan sekitarnya, publik hanya membayar 20% dr tarif sebenarnya. Sisanya 40% disubsidi negara dan 40% dr swasta.
Swasta diwajibkan karena didukung UU yg mengatur, jika ada suatu perusahaan mempekerjakan lebih dr 9 orang, wajib menyisihkan utk operasi angkutan umum.
Dampaknya, hampir semua pekerja menggunakan angkutan umum, krn tdk diberikan uang transport. Transportasi pedesaan sudah disediakan oleh Kemendes, ada yg dikasih sarana, ada yang dibangun prasarana jalan terlebih dulu.
Sayangnya, sistemnya tidak dibangun dengan baik, sehingga keberlanjutannya kurang terjamin. Alangkah baiknya untuk bekerjasama dengan Kemenhub membangun sistem transportasi pedesaan yang berkelanjutan. Bukan sekedar kasih sejumlah armada angkutan pedesaan dan bangun jalan desa.
Sejelek-jeleknya Transjakarta masih jauh lebih baik daripada operasional BRT di 20 kota yg sudah dan sedang berjalan sejak era Presiden Megawati dan SBY.
BRT yang sudah ada ditata lagi, daerah yang belum punya dibangun sistem yang lebih baik. Daerah yang sudah lenyap transportasi umumnya dibangkitkan lagi.
Taksi bandara yang mestinya berargometer, ternyata di beberapa bandara belum mau menerapkannya. Masih menggunakan tarif berdasarkan zona yang merugikan penumpang. Lebih mahal dari tarif berdasar argometer.
Jangan lupa juga layanan transportasi di wilayah perbatasan. Sudah terbangun tujuh Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Di Kalimantan (3), Papua (1) dan Timor (3).
Kita bangga sekarang dengan bangunan gedung PLBN yg megah. Di Entikong, bangunan PLBN sekarang jauh lebih megah ketimbang Tubedu milik Malaysia.
Namun miris juga, ketika pelintas batas tiba di PLBN Entikong, jika akan menggunakan angkutan lanjutan (bus AKDP dan angkudes) tidak bagus. Armadanya tidak layak. Jika ingin yang nyaman, tersedia tarif cukup mahal dengan kendaraan plat hitam.
Angkutan umumnya sungguh tidak layak. Usianya sudah di atas 15 tahun. Orang Malaysia bilang angkutan tinggal tulang saja.
Beda halnya di Tubedu (Malaysia), kita bisa memilih angkutan lanjutan sesuai selera dan sudah ada tarifnya yang tertera.
Jadi, jangan hanya bangun fasilitas mewah di perbatasan (jalan akses dan bangunan gedung). Perlu juga diikuti ketersediaan sarana transportasi umumnya yang memadai. Juga disiapkan terminal penumpang dan barang.
Kemenhub harus survei di beberapa PLBN, temasuk juga survei jalan nasional pararel perbatasan di Kalimantan yang panjangnya bisa dua kali panjang Merak-Banyuwangi di Pulau Jawa, 1.900 km.
Membangun transportasi umum, membangun sistem. Tidak sekedar bagi-bagi armada bus, kasih subsidi operasional atau yang lainnya.
Kita bisa belajar dgn KRL Jabodetabek dan Bus Transjakarta, walau masih ada kekurangannya. Namun setidaknya bisa dijadikan pedoman untuk membangun sistem transportasi umum berkelanjutan di Indonesia.
Melakukan pembinaan terhadap operator lama (sopir dan pengusaha) lebih bijak daripada memunculkan operator baru. Semula sistem setoran, berubah dapat gaji bulanan
Konsep menggeser lebih manusiawi ketimbang menggusur. Memang cara ini butuh ketelatenan, keteladanan dan waktu lebih lama. Karena yang dihadapi bukan wirausaha hebat dan bermodal kuat. SDM yang rendah dan kelembagaan yang lemah menjadi kendalanya.
Namun bila berhasil, bisa membangun jaring pengaman sosial. Tidak menimbulkan pengangguran, malah meningkatkan pendapatan warga kekas bawah. Yang dulunya profesi supir dianggap orang melarat, lambat laun profesi supir dapat perhatian di masyarakat.
Belum lagi keuntungan eksternalitas yang diperoelh dengan dioperasikan transportasi umum, seperti menghemat enetgi, menurunkan angka kecelakaan, mengurangi polusi udara, mengatasi kemacetan lalu lintas. ()