MTI Rekomendasikan Pemerintah Tegas Melarang Mudik
Selasa, 14 April 2020, 11:43 WIBBisnisNews.id -- Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) merekomendasikan, Pemerintah bertindak tegas dan berani melarang mudik pada sasa libur Lebaran 2020 mendatang. Tidak cukup hanya dengan menghimbau dan tidak ada sanksi dan tindakan yang tegas.
"Langkah itu (melarang) adalah untuk menyelamatkan manusia secara keseluruhan, baik pemudik, warga di daerah tujuan mudik bahkan awak angkutan umum yang melayani mobilitas pemudik," kata Ketua Umum MTI Prof.Dr. Agus Taufik M (ATM), dalam diskusi daring Selasa (14/4/2020).
Dari perhitungan MTI serta hasil koordiansi dengan berbagai pihak termasuk Kementerian Perhubungan, lanjut Prof ATM, diproyeksikan masih ada 1,3 juta orang, setelah dikurangi TNI/Polri, ASN serta pegawai BUMN/BUMD yang dilarang mudik saat Lebaran mendatang.
"Jadi, masih ada 1,3 juta orang yang berpotensi akan mudik atau belum memutuskan sikapnya sampai saat ini. Jika nanti mereka mudik, maka akan menjadi potensi penyebaran covid-19 di daerah," jelas Prof. ATM dalam diskusi yang dipandu Sekjen MTI Harya Setya Dillon itu,
Menurut Guru Besar UGM itu, secara garis besar ada tiga kelompok orang terkait budaya mudik ini. Pertama, kelompok nekad mudik karena sudah menjadi budaya dan memang pulang kampung setiap Lebaran.
Kedua, nekad mudik karena tak ada uang untuk hidup diperantauan khususnya Jakarta dan kota besar lain di Indonesia. Daripada tak makan di Jakarta, lebih baik pulang dan masih ada keluarga dan bisa makan apa adanya.
Ketiga, bersikeras mudik karena faktor budaya dan memang dinanti-nantikan oleh keluarganya. "Akumulasi semua itu diperkirakan ada 1,3 juta orang. Mereka itulah yang perlu difikirkan bersama," jelas Prof.ATM.
Arek Pasuruan Jawa Timur itu menjelaskan, untuk melarang orang mudik butuh kebijakan tegas secara nasional, yaitu dari Presiden sebagai Kepala Negara tak cukup hanya di leven meteri atau gubernur. "Instrumennya bisa berupa Keppres, Perpres atau lainnya. Dan, DPR harus ikut ambil bagian, karena ini untuk tujuan menyelamatkan jiwa manusia Indonesia semua," kilah Prof.ATM.
Kabid Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Djoko Setijowarno menambahkan, MTI meminta Pemerintah bisa bersikap lebih tegas dan terukur terkait fenomena mudik ini. "Pemerintah bisa melarang mudik demi keselamatan bangsa yang lebih besar. Tentunya dengan konsekuensi memberikan insentif kepadda rakyat, karena sudah dianggarkan dalam APBN," kata akademisi FT Unika Soegijopranoto Semarang itu.
Konsekuensinya, mereka yang dilarang mudik diberikan insentif bisa berupa uang dan sembako atau bantuan langsung tunai (BLT). Insentif BLT ini khususnya bagi pekerja informasi seperti driver ojol, awak angkutan umum dan lainnya agar mereka tidak pulang.
Selain itu, insentif lain kepada warga yang tidak mudik bisa diberikan voucher pulsa. Dengan begitu, mereka tetap bisa komunikasi dan silaturahmi secara virtual. "Disini bisa diberikan voucher pulsa kepada mereka yang tidak mudik dan cukup bersilaturahmi secara virtual," kilah Djoko.
Disinsentif dan Pemborosan
Baik Prof. ATM atau Djoko sepakat, perlu ada disinsentif lebih karas diberikan kepada orang-orang yang nekad pulang mudik. "Caranya bisa memberikan disinsentif seperti tarif tol tinggi, BBM tinggi bahkan kendaraan pribadi tak boleh mengisi BBM di SPBU kecuali bila membeli BBM nonsubsidi dan lainnya," sebut Prof.ATM.
Sementara, Khoiri Soetomo dari MTI Jawa Timur mengusulkan Pemerintah lebih tegas bukan hanya saat mudik, tapi juga di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat ini. "PSBB yang "tidak tegas" ini justru membuat pemborosan sumber daya, khususnya pelaku usaha sektor transportasi. Mau berhenti operasi tak boleh, tapi beroperasi juga load factor rendah," kata Ketua Gapasdaf itu lagi.
Seperti diketahui, lanjut Khoiri, dengan tetap beroperasi seperti sekarang perusahaan angkutan seluruh moda harus menanggung rugi yang semakin besar. Selama masa tanggap darurat corona ini, load factor semua moda transportasi turun. Dan kerugikan makin besar bagi para operatornya tanpa kecuali.
"Masih lumayan mereka (operator transportasi) tetap bisa bertahan, karena sebagian harus berhenti operasi bahkan terpaksa merumahkan karyawannya," tandas MTI Jati itu.(helmi)