Ojol Penumpang No, Ojol Barang Yes
Senin, 04 November 2019, 07:08 WIBBisnisNews.id -- Kelemahan Pemerintah dalam menyediakan transportasi umum, kondisi pelayanan transportasi yang buruk, komposisi strata perekonomian dan perilaku khas masyarakat Nusantara di manfaatkan menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan dari semua sisi dari segi bisnis. Dan menjadi hal yang kurang menguntungkan dari sisi Pemerintàh dan masyarakat pengguna
Ojek daring atau ojek online (ojol) sudah merambah dengan cepat ke seluruh pelosok Nusantara. Di perkotaan, terutama di Jakarta telah menjadi masalah sosial baru. Di satu sisi, memberikan kemudahan publik mendapatkan transportasi cepat sampai tujuan.
Namun, di lain hal sudah menimbulkan banyak persoalan, seperti parkir di sembarang tempat (termasuk di atas trotoar), menerobos palang pintu perlintasan KA, pegang telpon genggam di atas motor berjalan, beroperasi di atas trotoar, ditegur aparat hukum jika melanggar cenderung melawan dan bertindak kasar.
Hingga sekarang angka pasti jumlah pengemudi ojol hanya Tuhan dan aplikator yang tahu. Pemerintah pun tidak tahu berapa jumlah pastinya. Bagaimana Pemerintah mau mengatur, membina dan mengawasi, jika jumlah angka pasti saja tidak diketahui hingga sekarang. Pemerintah cenderung mendukung karena dianggap dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi warganya.
Hasil survey yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan di lima kota (Jabodetabek, Bandung, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta) 4-7 Mei 2019.
Pekerjaan sebelum menjadi pengemudi ojol adalah tanpa pekerjaan alias pengangguran hanya (18 persen). Selanjutnya wirausaha (44 persen), BUMN/Swasta (31 persen), pelajar/mahasiswa (6 persen) dan ibu rumah tangga (1 persen).
Jadi, kurang benar jika selama ini ada anggapan kalau bisnis ojol itu mengurangi pengangguran. Yang pasti adalah beralih profesi menjadi pengemudi ojol karena tawaran penghasilan yang memikat saat itu. Namun akhirnya sekarang terjerat dan untuk kembali ke pekerjaan semula alami kesulitan.
Kecuali sudah memiliki keahlian khusus, seperti pertukangan, petani dapat kembali ke profesi semula. Bagi yang pekerja kantoran, sulit kembali bekerja di kantor sebelumnya.
Pekerjaan utama sebagai pengemudi ojol sebanyak 84,4 persen. Sisanya 15,6 persen berprofesi pekerja BUMN/Swasta (6,5 persen), ibu rumah tangga (6,1 persen), pelajar/mahasiswa (6,5 persen), ASN (1,7 persen), wiraswasta (01, persen) dan lain-lain (1,1 persen).
Sebanyak 91 persen, sepeda motor milik sendiri. Sewa 5 persen dan milik orang lain 4 persen. Jam beroperasi dalam sehari terbesar kisaran 10-12 jam (31,94 persen), 7-9 jam (23,29 persen), 12-14 jam (18,51 persen), lebih dari 15 jam (12,47 persen), 4-6 jam (11,75 persen) dan 1-3 jam (2,04 persen).
Jumlah pesanan atau order dalam sehari terbanyak 5-10 kali (40,22 persen). Kemudian berikutnya 11-15 kali (30,86 persen), 16-20 kali (16,05 persen), kurang dari 5 kali (6,83 persen) dan 21-25 kali (4,27 persen).
Angkutan Barang
Sepeda motor dapat digunakan mengangkut barang dibenarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Aturan batas barang bawaan untuk sepeda motor (pasal 10 ayat 4), meliuti muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi, tinggi muatan tidak melebihi 900 milmeter dari atas tempat duduk pengemudi, barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi dan mengutamakan faktor keselamatan.
Data Korlantas Polri menyatakan, lebih dari 70 persen angka dan korban kecelakaan berasal dari sepeda mtoor. Sepeda motor rentan mengakami kecelakaan. Untuk melindungi pengemudi dan pengguna ojol, Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat
Di beberapa kota manca negara juga beroperasi ojek motor. Ada aturan pasti, tidak semua jenis sepeda motor dapat dapat digunakan sebagai ojek. Namun tidak sebanyak di Indonesia, layanan transportasi umum yang sangat bagus sudah dirasakan warganya.
Warga dengan mudah dan murah sudah mendapat layanan transportasi umum tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dan pertumbuhan industri sepeda motor tidak seperti di Indonesia yang mudah dan murah untuk diperoleh.
Kota-kota di Tiongkok, warganya menggunakan sepeda listrik dan membatasi gerak sepeda motor. Di Jepang yang produksi sepeda motornya banyak di Indonesia, warganya enggan menggunakan sepeda motor, lebih menyukai transportasi umum.
*Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat/ nda