OP: Pemilik Barang Gak Keberatan Kena Tarif Progresif, YOR Rata-Rata 45 Persen
Jumat, 06 April 2018, 15:23 WIBBisnisnews.id - Menumpuknya barang lebih dari tiga hari di lini satu terminal petikemas Tanjung Priok dinilai tidak jadi masalah sepanjang tidak mengganggu aktivitas bongkar muat. Desakan, agar barang yang lebih dari tiga hari keluar dari lini satu ke buffer area, malah bisa menimbulkan biaya tinggi.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Arif Toha menuturkan batas toleransi lapangan Yard Occupancy Ratio (YOR) dari 65 persen hanya terpakai rata-rata 45 persen. Artinya, penumpukan barang di lini satu terminal petikemas tidak mengganggu kegiatan bongkar muat.
Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permenhub Nomor PM 116/2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (long stay) di tempat Pelabuhan Utama yakni Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar.
Barang yang menumpuk lebih dari tiga hari di lini satu dikenakan tarif progresif hingga mencapai 900 persen. "Kalau kami diminta mengeluarkan barang, ya tidak bisa, kan pemilik barangnya tidak keberatan dikenakan tarif progresif, dan pengusaha sudah punya hitung-hitungan. Selain itu juga kalau ada kerusakan atau ada barang yang hilang," tutur Arif pada Bisnisnews di kantornya.
Ada kepentingan bisnis dibalik desakan agar barang-barang yang ditumpuk lebih dari tiga hari cepat dikekuarkan. "Bagi kami, sepanjang tidak mengganggu kegiatan bongkar muat dan pemilik barang tidak keberatan membayar, ya sudah biarkan saja," jelasnya.
Dalam hitungan bisnis, para pemilik barang lebih nyaman ada di dalam terminal lini satu, ketimbang di luar. Sebab kalau harus direlokasi, ada biaya tambahan yang harus ditanggung pemilik barang.
Berdasarkan fakta di lapangan, tarif progresif tidak merugikan pemilik barang, sebab dalam hitungan bisnis, para pemilik barang masih lebih untung ketimbang harus direlokasi ke buffer-buffer yang ada di luar.
Kalau barang di relokasi ke buffer-buffer di luar pelabuhan, biaya yang harus dikeluarkan pemilik barang membengkak. Pemilik barang selain harus membayar ke operator terminal, membayar tarif relokasi barang dan kembali lagi dibebankan membayar sewa gudang atau lapangan peumpukan di buffer area.
Para pemilik barang selain harus menanggung biaya pemindahan juga sewa gudang atau lapangan penumpukan. Relokasi dari lini satu ke lini dua justeru menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya.
"Buat apa si diributkan, sekarang saja di Tanjung Priok sudah seperti lapangan bola. YOR dari batas maksimum 65 persen terisi hanya 45 persen. Pemilik barangnya juga tidak keberatan membayar lebih, sesuai peraturan yang ada, " tandasnya.
Peraturan Menhub yag ditetapkan pada 30 Maret 2017 dan diundangkan 5 April tentang ketentuan batas waktu itu tidak berlaku bagi barang yang wajib tindakan karantina dan barang yang telah dilaporkan pemberitahuan impor tetapi belum mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPBB), termasuk barang yang terkena Nota Hasil Intelejen (NHI) oleh Bea Cukai.
Sementara itu, para pelaku usaha dalam dialog terbuka dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kamis (5/4/2018) di JICT Pelabuhan Tanjung Priok, diantaranya soal kendala layanan. Terutama menyangkut kegiatan pemeriksaan fisik terhadap barang impor yang terkena kewajiban periksa karantina oleh badan karantina.
Masalah lain yang dihadapi para pelaku usaha ialah, proses penarikan peti kemas dari lokasi container yard lini satu terminal peti kemas ke lokasi atau blok pemeriksaan kontener wajib periksa karantina memakan waktu lebih dari tiga hari.
Submit laporan surveyor (LS) dinilainya cukup lama dan berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu cukup lama. "Selain itu soal submit dokumen LS hingga kini juga berbelit dan butuh waktu panjang. Makanya banyak kontener kami gak bisa keluar sebelum tiga hari dari pelabuhan.Ini masalahnya belum terintegrasi," tutur Linda, perwakilan forwarder dari GPI Logistik.
Pada tempat terpisah sejumlah eksportir mengatakan, PM 25/2017 yang menetapkan tarif progresif tidak menambah lancar dan tidak mengurangi tingginya biaya logistik. Sebab, batas waktu masimum penumpukan barang tiga hari di terminal lini satu tidak linier dengan biaya logistik yang murah.
Kenyataannya, para pemilik barang yang melebihi batas waktu sesuai PM 25/2017, harus menanggung beban lebih besar, yaitu mengeluarkan uang sewa di depo non TPS di luar pelabuhan. Idealnya, pihak operator terminal menyediakan buffer area di lini satu sekitar 20 persen dari total area yang ada sehingga barang yang melebihi batas waktu dan dokumennya belum selesai bisa digeser pada area yang sama.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Assosiasi Logistik dan Forwarder Indonesi (ALFI) Yuki Setiawan sebelumnya menuturkan, dua kendala utama tingginya biaya logistik. Yaitu banyaknya regulasi yang kurang tepat dan infrastruktur yang belum memberikan dukungan maksimal.
Salah satu regulasi mejadi kendala ialah implementasi PM 25/2017 yang mengatur masa inap barang dan penetapan tarif progresif. Dia berharap, kalau memang regulasi itu tidak diterapkan secara penuh karena berbagai permasalahan di lapangan sebaiknya dicabut.
"Faktanya peraturan yang memberikan finalti tarif progresif hingga 900 persen tidak membuat jera emilik barang. Mereka lebih suka menumpuk barangnya di ini satu ketimbang harus ditarik keluar. Kenapa tidak dicabut saja, dikembalikan seperti semula, tarif flat," tegasnya. (Syam S)