Pemerintah Prioritaskan Perbaikan Infrastruktur dan Konektivitas
Jumat, 22 November 2019, 11:24 WIBBisnisNews.id -- Ada sejumlah hal yang harus segera dilakukan dan menjadi skala prioritas Pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin dalam 5 tahun ke depan pemerintahannya. Program tersebut di antaranya, membenahi infrastruktur.
“Infrastruktur harus dibenahi sebagai prasyarat agar semua cost yang terkait dengan industri bisa ditekan semurah mungkin, sehingga memunculkan daya saing." Sementara, RCEP merupakan blok perdagangan yang diinisiasi pada 2013 dan rencana akan akan dilaksanakan pada 2021. Proyeksi pasar RCEP diperkirakan mencapai USD49,5 triliun.
"Sebagai contoh di antaranya, membangun pelabuhan di berbagai wilayah di Indonesia,” kata Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman, dalam diskusi di Jakarta.
Rizal menyampaikan itu dalam diskusi bertajuk “RCEP: Berharap Investasi” di Ruang Serbaguna Roeslan Abdulgani, Kemenkominfo, Jakarta.
Itulah, dikatakan Rizal, yang menjadi salah satu prioritas Pemerintah di 5 tahun pertama ke depan. “Tentu ini menjadi juga priority yang terus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan negara-negara sekitar kita dan infrastruktur dari sisi misalkan biaya-biaya energy cost daripada untuk LP Gas sebagai sumber bahan baku utama industri tadi,” tuturRizal.
Mahalnya, biaya logistik di Indonesia memang mengakibatkan minat investor asing untuk masuk ke negara ini menjadi berkurang.
“Jadi memang ada masalah Indonesia, yakni soal biaya logistik, selain soal konektivitasnya. Bayangkan, mereka [industri] tentu tidak bisa melakukan ekspor, bila pelabuhannya tidak ada, begitu juga dengan alat angkutnya,” ujarnya.
Blok Perdagangan
RCEP merupakan organisasi blok perdagangan yang melibatkan 10 negara di Asean, plus lima negara lainnya, Australia, Tiongkok, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan. RCEP merupakan blok perdagangan yang diinisiasi pada 2013 dan rencana akan akan dilaksanakan pada 2021. Proyeksi pasar RCEP diperkirakan mencapai USD49,5 triliun.
Bagi Indonesia, Rizal mengungkapkan, tidak bisa begitu saja mengadopsi blok perdagangan itu 100%. Itu, menurut dia, harus diberlakukan secara bertahap, misalnya 60%-65%.
“Artinya, pemerintah masih memiliki kewajiban untuk melindungi produk-produknya dari liberalisasi blok perdagangan baru tersebut,” tegas Rizal. (nda/helmi)