Peringatan Bela Negara: Bercermin Diri Dari Sosok Syafruddin Prawiranegara dan Eurico Guterres
Rabu, 20 Desember 2017, 09:18 WIBOleh: Uus Sumirat
*) Penulis adalah paktisi dan penggiat masalah sosial
Bisnisnews.id - Dalam konstitusi dan perundang-undangan, seperti diamanatkan Pasal 27 dan Pasal 30 UUD 1945, diperkuat UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara (Pasal 9), disebutkan, Bela Negara merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Karena itu, semangat bela negara sudah seharusnya melekat dalam diri dan jiwa setiap individu yang mengaku sebagai Warga Negara Indonesia.
Rasanya tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa kondisi real negara kita saat ini, menuntut kesiagaan dan kewaspadaan seluruh komponen bangsa agar setiap saat dapat mengantisipasi berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. AGHT tidak selalu datang dari luar, tapi dari dalam negeri.
Oleh karena itu, konsepsi Bela Negara terus digelorakan dan banyak dibicarakan dalam berbagai forum. Bahkan Kementrian Pertahanan Republik Indonesia telah menargetkan pelatihan bela negara sedikitnya bagi sebanyak 100 juta orang dalam kurun waktu beberapa tahu ke depan.
Hari Bela Negara
Setiap 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara. Penetapan Hari Bela Negara ini dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara.
Hari Bela Negara merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia dan penting diperingati untuk mengenang deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat sebagai bentuk perlawanan atas Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948.
Hari dimana para pahlawan bangsa mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah-tengah guncangan Agresi Militer Belanda II pada waktu itu.
Sejarah mencatat, 19 Desember 1948 Belanda berhasil menguasai Yogyakarta yang kala itu merupakan ibukota Republik Indonesia (RI). Mereka terus menerus menyiarkan berita bahwa negara RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pemimpin Pemerintah RI, pada sore di hari yang sama Mr. Syafruddin Perwiranegara bersama Kolonel Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/ Ketua Komisaris Pemerintah Pusat untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, daerah perkebunan teh, sekitar 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
22 Desember 1948 diadakan rapat lanjutan yang dihadiri antara lain oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Muhammad Rosjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Mr. A. Karim, Rusli Rahim, dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, namun tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara terpilih sebagai ketua PDRI.
Pada 23 Desember, beliau berpidato untuk memberikan motivasi kepada para tentara RI dan seluruh rakyat Sumatera Barat agar selalu semangat dan terus berjuang mempertahankan NKRI, walaupun para pemimpin bangsa telah ditangkap Belanda. Sejak itu PDRI menjadi musuh utama Belanda.
Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjalin komunikasi dengan beberapa Menteri yang berada di Jawa untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Sementara itu, posisi Belanda semakin terjepit. Dunia internasional terus mengecam agresi militer Belanda sehingga pada akhirnya dengan terpaksa Belanda harus menghadapi RI di meja perundingan. Kala itu RI diwakili oleh Mohammad Roem yang masih berstatus sebagai tahanan.
Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen yang sebenarnya membuat para tokoh PDRI tidak senang. Bahkan Jendral Sudirman pun sempat mengirimkan kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Namun, Sjafruddin Prawiranegara berfikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.
Setelah perjanjian Roem-Royen, M. Nasir meyakinkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan. Dan setelah perjanjian Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang inilah secara formal Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri.
Setelah serah terima secara resmi pengembalian mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, pemerintah RI menyetujui hasil persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.
Dari catatan sejarah tersebut di atas, kita bisa melihat betapa luhurnya perjuangan dan besarnya jiwa seorang Pahlawan Nasional bernama Sjafruddin Prawiranegara. Jika saja waktu itu beliau bersikukuh untuk mempertahankan PDRI, niscaya tidak berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti sekarang ini. Mungkin yang namanya RI pada waktu itu sudah terpecah belah.
Mengingat pentingnya peristiwa sejarah tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara. Dalam pertimbangannya antara lain disebutkan bahwa tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka bela negara.
Melalui Keppres tersebut, semakin jelas dan tegas negara mengakui PDRI sebagai bagian dari sejarah Indonesia yang memiliki arti penting bagi keutuhan NKRI. Dimana pada kala itu, PDRI yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara telah menunjukan dan membuktikan kepada dunia bahwa RI masih ada, tak peduli bagaimanapun kondisi para pimpinan pemeintahan RI yang sebagian besar berada dalam tahanan si penjajah, Belanda.
Timor Timur.
Negara kita mencatat, tahun 1977, Timor Timur menjadi wilayah NKRI. Namun tahun 1999, Timor Timur kembali memisahkan diri dari NKRI dengan membentuk negara Timor Leste, melalui prosesjajak pendapat (referendum) 30 Agustus 1999. Diikuti oleh 451.792 orang pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang ditetapkan United Nations Mission in East Timor (UNAMET).
Tepatnya pada 4 September 1999 PBB menngumumkan hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur . Sebanyak 78,5 persen penduduk Timor Timur pada waktu itu menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI
Rupanya bergabungnya Timor Timur ke wilayah RI pada waktu itu tidak berarti secara otomatis persoalan Timor Timur sudah usai, baik di tataran nasional maupun dunia Inernasional. Banyak kelompok-kelompok perlawanan kemudian muncul dengan dukungan kekuatan asing.
Mereka melakukan penekanan-penekanan dalam berbagai level untuk menentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Mereka terus bergerilya menyusun rencana dan mencari moment yang tepat untuk bisa melepaskan diri dari wilayah Republik Indonesia. Mereka selalu mengungkit masalah integrasi Timor Timur di dunia internasional dan melakukan kekacauan di Timor Timur.
Usaha mereka ini memperoleh jalan dengan adanya keadaan di Indonesia yang tidak menentu. Fretilin mendapat dukungan Portugis dengan segala cara berhasil membuat opini internasional bahwa Indonesia melakukan intervensi dalam proses integrasi Timor Timur.
Tindakan kekerasan pun semakin banyak terjadi. Kelompok masyarakat pro integrasi semakin terancam dan terus diburu oleh kelompok anti integrasi. Akhirnya mereka menyingkir dan mencari perlindungan atau tempat yang aman di wilayah RI. Semangat mereka untuk mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, termasuk Timor Timur sebagai propinsi RI ke 27, terus membara. Mereka sangat mencintai Tanah Air Indonesia dan karenanya rela mengorbankan apa saja, termasuk jiwa dan raga mereka, bagi keutuhan NKRI.
Di tengah-tengah pergolakan antara kelompok pro dan anti integrasi itu munculah seorang pemuda asli kelahiran Timor Timur bernama lengkap Eurico Barros Gomes Guterres. Lahir di Uatulari (dekat Viqueque), Timor Timur tahun 1971, Eurico Guterres, begitu nama panggilannya, tumbuh sebagai anak yatim piatu karena kedua orang tuanya kemudian terbunuh sebagai akibat pandangan-pandangannya yang dinilai pro-Fretelin.
Meskipun demikian dia tetap konsisten mendukung Indonesia. Eurico yang masih muda lalu dibesarkan oleh seorang warga sipil Indonesia, dan kemudian mengirimnya untuk belajar di sekolah Katolik Hati Kudus Yesus di Becora, Dili. Pada 1997 ia meneruskan pendidikan di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Di sinilah cikal bakal terbentuknya milisi pro integrasi/pro Indonesia yang menghantarkan dia masuk dalam jajaran orang paling dicari dunia karena dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur, dan merupakan pemimpin milisi utama pada berbagai kerusuhan pasca-referendum, termasuk tragedi penghancuran kota Dili, dimana dia adalah ketuanya.
Dunia internasional, terutama Amerika Serikat dan Australia menekan Indonesia melalui PBB untuk mengusut tuntas dalang pelaku kerusuhan itu. Bahkan kedua negara itu mengancam akan membawa mereka yang terlibat dalam kasus yang digembar-gemborkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia itu ke Mahkamah Internasional. Indonesia seolah tiada pilihan lain, dan akhirnya menjadikan Eurico Guterres, yang kala itu menyandang gelar Wakil Penglima pejuang pro Integrasi sebagai tersangka kerusuhan pasca jajak pendapat itu. Terasa kental sekali kesan bahwa Eurico Guterres sengaja dikorbankan demi menghadapi tekanan dunia internasional. Di tengah pro dan kontra waktu itu, Eurico Guterres dengan lantang dan jantan menyatakan siap dihadapkan ke pengadilan jika memang bersalah. Buktinya, Eurico Guterres-lah yang datang menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.
Setelah melalui sebuah proses peradilan, Eurico Guterres dinyatakan bersalah dan untuk itu itu dijatuhi hukuman selama 10 tahun penjara. Akan tetapi hukuman itu hanya dijalaninys selama dua tahun saja karena kemudian Eurico Guterres berhasil mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Eurico pun divonis bebas. Tiada penyesalan atas semua proses hukum itu, hanya saja dia tetap tidak mengerti mengapa perjuangannya dalam membela negara yang teramat dicintainya itu malah berakibat pada dijebloskan dia ke penjara.
Walau demikian, dia tetap bangga menjadi Warga Negara Indonesia. Kecintaannya kepada Indonesia terlampau tinggi kalau hanya harus menghadapi proses hukum atas segala tindakannya dalam membela negara yang dicintainya itu. Demi rasa cintanya kepada negaranya, demi membela tanah airnya, demi sang saka merah putih, ia tidak hanya rela mendekam di dalam penjara akan tetapi Eurico pun harus berpisah dengan anak dan istrinya yang ternyata pada saat itu lebih memilih menjadi warga Negara Timor Leste. Begitu pun dalam kehidupan sehari-hari, penampilannya tidak lepas dari pernak-pernik, atribut dan balutan berwarna merah putih di tubuhnya. Semua itu menunjukan rasa bangga dan kecintaannya yang begitu kuat kepada tanah air Indonesia.
Sikap Kita
Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Karena itu, tindakan nyata bela negara, seperti dicontohkan oleh para pahlawan dan generasi pejuang bukan hanya merupakan bentuk penunaian tugas atau kewajiban sebagai warga negara saja, akan tetapi lebih dari itu merupakan refleksi dari rasa cinta dan tanggung jawabnya kepada tanah air.
Untaian kalimat pernyataan kewajiban bela negara bagi setiap warga negara yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan hanyalah bentuk penegasan formal saja. Tanpa itu semua, semangat dan sikap Bela Negara harus sudah terpatri dalam jiwa setiap warga negara sehingga mampu diwujudkan melalui sikap nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Semangat dan jiwa Bela Negara yang luar biasa telah diajarkan dan diwariskan kepada kita semua oleh para putra terbaik negeri ini. Kini, saatnya kita untuk meneruskan semangat dan jiwa Bela Negara itu.
Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Eurico Guterres adalah dua dari sekian tokoh heroik yang patut dicontoh oleh kaum muda dan generasi penerus bangsa untuk lebih mencintai negara ini dengan mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, memegang teguh semangat patriotisme dan nasionalisme, menjunjung tinggi dan mengamalkan Pancasila serta UUD 1945.
Mari berikan yang terbaik untuk negara kita, selama hal itu belum dapat dilakukan jangan membuat susah negara.
Salam Bela Negara !