Permenhub 18 Tahun 2020 dan Dan Suramnya Penerbangan Nasional ?
Senin, 13 April 2020, 20:09 WIBBisnisNews.id -- Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) no.18/2020 tentang tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, kontraproduktif dan tidak membantu menggairahkan penerbangan nasional. Baik untuk maskapai (terutama yang non- BUMN), penumpang maupun stakeholder lain dikarenakan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, terutama untuk ayat /c/.
Untuk transportasi udara, diatur dalam pasal 14, di mana pengend5alian kegiatan transportasi udara meliputi:
a. pengurangan kapasitas (slot time) bandar udara berdasarkan evaluasi;
b. pembatasan jumlah penumpang paling banyak 50 persen dari jumlah kapasitas tempat duduk dengan penerapan jaga jarak fisik (physical distancing); dan
c. penyesuaian tarif batas atas dan/atau pemberlakuan tuslah/surcharge berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sejak Indonesia menyatakan darurat nasional Covid-19 Maret lalu, tingkat isian muatan (load factor/ LF) penumpang setiap pesawat milik maskapai nasional tidak lebih dari 50 persen. Contohnya seperti dinyatakan oleh PT Angkasa Pura II (Persero) bahwa pada tanggal 10-11 April 2020 lalu, load factor di Bandara Soekarno-Hatta mengalami penurunan sehingga LF tidak sampai 50 persen.
Padahal jumlah penerbangan di bandara ini sekitar 60-70 persen dari total jumlah penerbangan nasional. Ditambah lagi bahwa setiap penerbangan adalah resiprokal antar dua bandara, sehingga kalau penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta menurun, maka bandara lain yang terhubung juga pasti menurun jumlah penerbangannya.
Hal tersebut diakui pengelola bandara-bandara besar di tanah air yaitu PT. Angkasa Pura I dan II yang kemudian mengurangi jam operasional dan layanan penerbangannya demi efisiensi.
Agar LF meningkat, maskapai berupaya dengan memberikan diskon harga tiket hingga mendekati batas bawah. Misalnya untuk penerbangan Jakarta – Surabaya, Garuda memberikan potongan diskon hingga 37 persen sehingga tarifnya menjadi Rp700 ribuan. Batik dan Lion air menjual tarif antara Rp350-400 ribu. Citilink sekitar Rp550 ribu. Sedangkan Sriwijaya sekitar Rp350 ribuan. Tarif dasar itu nantinya masih harus ditambah pajak, layanan bandara dan lainnya yang besarnya bervariasi antara Rp100-200 ribu hingga menjadi harga tiket.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 106 tahun 2019, tarif batas atas rute itu adalah Rp1.167 ribu dan batas bawah Rp408 ribu untuk maskapai full service seperti Garuda dan Batik. Sedangkan maskapai menengah seperti Sriwijaya bisa menjual 90 persen dan LCC 85 persen dari batas atas. Batas bawah ditetapkan 35 persen dari masing-masing tarif batas atas sesuai layanan.
Bisa dilihat, tarif yang ditawarkan sudah mendekati bahkan sudah ada yang di batas bawah. Itu pun LF masih sekitar 50 persen. Bagaimana nanti kalau tarif dinaikkan? Bisa jadi LF akan semakin menurun. Pemasukan maskapai pun akan semakin menurun sehingga tidak mungkin akan mengurangi penerbangan atau menutup operasi sementara seperti yang sudah dilakukan Indonesia AirAsia mulai awal April lalu.
PSBB dan Work From Home ?
Dengan adanya pandemi Covid-19 saat ini, masyarakat memang cenderung mengurangi atau menunda bepergian (no mudik dan no piknik) kecuali kondisi mendesak. Hal ini ditambah dengan anjuran pemerintah untuk tidak keluar rumah dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek dengan konsekuensi work from home atau study from home dan peniadaan dinas-dinas luar oleh pegawai negeri atau swasta, kecuali urusan penting. Di beberapa daerah juga terjadi pembatasan keluar-masuk orang atas inisiatif warga.
Dengan demikian adanya pasal 14 terutama ayat /c/ tersebut kontraproduktif dengan apa yang diharapkan untuk menyehatkan penerbangan nasional dan malah bisa mengganggu kelangsungan supply chain melalui transportasi udara.
Agar penerbangan tetap bergairah, seyogyanya perlu dipertimbangkan dengan serius dan segera kebijakan-kebijakan lain, terutama terkait dengan pemberian stimulus. Tidak saja bagi maskapai, juga stakeholder lain seperti misalnya bengkel perawatan dan perbaikan pesawat, ground handling dan lainnya.
Stimulus tidak harus berupa pemberian dana segar, namun bisa dengan cara lain untuk melancarkan cash flow perusahaan. Misalnya bisa berupa penundaan pembayaran bahan bakar (avtur), menurunkan atau meniadakan bea masuk suku cadang, landing fee, jasa navigasi dan tarif jasa bandara lainnya.
Untuk membantu penumpang, bisa juga dipertimbangkan untuk menghapuskan atau menaikkan prosentase tarif batas bawah dari tarif batas atas, misalnya dari 35 persen menjadi 50 persen dari batas atas sehingga TBB lebih murah. Menunda pelaksanaan free baggage allowance, bagi maskapai yang menerapkannya.
Sedangkan untuk menggairahkan bisnis kargo udara dan kesinambungan supply chain kebutuhan bahan pokok masyarakat, perlu dipertimbangkan untuk dibuat pengecualian dalam kondisi force majeur terkait ketentuan teknis operasional operasi pesawat udara komersial. Caranya, sebagian seat kosong pesawat komersial dijadikan compartment cargo tambahan. Ketentuan ini dapat dilaporkan ke ICAO sebagai differences sementara selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Hal-hal tersebut dapat dilaksanakan karena sebagian besar perusahaan yang terlibat adalah badan usaha milik negara (BUMN) seperti Pertamina, AP I dan II, Airnav, Garuda, Citilink, GMF dan lainnya. Dalam masa sulit seperti sekarang ini, diperlukan kerjasama yang kompak terutama di lapangan antara negara (BUMN) dan pihak swasta. Dengan demikian bidang penerbangan nasional bisa tetap bertahan selama pandemi Covid 19 dan bisa meneruskan kelangsungan usahanya setelah pandemi selesai.
Ingatlah bahwa transportasi udara sangat diperlukan di masyarakat dan negara Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan ini. Kelangsungan usaha penerbangan yang sehat juga akan memperlancar supply chain dan mempengaruhi seberapa cepat pemulihan perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid 19.
*Gatot Raharjo, wartawan senior dan pemerhati penerbangan/hel