Prospek Bisnis Penerbangan Indonesia Tahun Ini Cerah
Sabtu, 04 Februari 2017, 20:42 WIB
Penulis: Arista Atmadjati,SE.MM, Analis Penerbangan UGM dan CEO AIAC (Arista Indonesia Aviation Center).
Bisnisnews.id-mengacu pada data kependudukan yang mencapai sekitar 252 juta jiwa, merupakan pasar yang menjanjikan, untuk menggenjot jumlah traffic penumpang transportasi udara yang dalam dekade terakhir megalami peningkatan signifikan.
Berangkat dari data kependudukan itu pula, sejumlah analis penerbangan di tanah air memperkirakan jumlah penumpang udara di Indonesia (domestik) tahun 2019 tembus 100 juta penumpang per tahun. Hal tersebut didasarkan pada pencapaian penumpang, di bandara-bandara Angkasa Pura II, sampai Oktober 2016.
Bahkan pencapaian penumpang di area 15 bandara Angaksa Pura II sudah mencapai surplus 15 persen dibanding yoy (year on year) tahun 2015. Data komprehensif penumpang domestik 2016 belum direlease oleh BPS, perlu waktu rekonsiasi data seluruh bandara secara cermat dan akurat. Mengingat di Indonesia saat ini ada 237 bandara kecil sampai dengan bandara lebel international.
Bandara aktif komersial yang dipergunakan secara regular ada 76 bandara , sekitar 30 bandara yang well managed oleh otoritas bandara BUMN yang dinamakan perum Angkasa Pura I dan II terseber mulai Aceh sampai dengan Papua. Itulah beberapa penopang revenue, jumlah traffic pesawat dan penumpang di Indoneisa. Maka sejak 2003, pertumbuhan penumpang komersial kita selalu bertumbuh diatas angka 2 digit dan tidak pernah turun dua digit sampai dengan detik ini .
Kebangkitan bisnis penerbangan niaga di Indonesia dalam 5 tahun belakangan memang sungguh luar biasa, salah satu contoh maskapai komuter yang didirikan tahun 2007, seperti Susi Air yang kurang populer saja, dalam emat tahun terakhir perkembangannya tumbuh pesat. Airlines milik Susi Pujiastuti ittu kini telah memiliki armada sekitar 25 unit turbo propeller jenis Grand Caravan, berpenumpang 12-20seater.
Padahal di pelosok-pelosok tanah air banyak sekali tumbuh maskapai operator kelas komuter, seperti Tri Nusa di NTB dan Sky Aviation yang melayani beberapa kabupaten di Kalimantan.
Kita baru menyadari kalau potensi traffic udara Indonesia saat ini sungguh luar biasa besarnya. Bahkan pilot asing yang ersal dari Eropa, New Zealand pun mau bergabung dengan maskapai Susi Air untuk mencari rejeki di langit papua yang sangat jauh dari negaranya. Pilot asli Indonesia rupanya lebih memilih lebih gengsi menjadi pilot pesawat ber mesin full jet dan maskapai besar di Indonesia. Otomatis kekurangan pilot baru ini banyak diisi oleh pilot-pilot asing dari se-antero dunia.
Data 2011, dengan jumlah armada pesawat komersil di Indonesia sekitar 300 pesawat, saat ini (2017) diperkirakan mecapai 2000 pesawat komersial yang melayani 3000 traffic sehari. Total jumlah penumpang yang diangkut mencapai 80 jutaan dengan uang yang berputar diatas Rp.20 triliun/tahun belumlah menunjukkan kekuatan ekonomi kita di bisnis penerbangan.
Sebagai gambaran dengan beberapa negara tetangga kita, seperti Singapura dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5 juta jiwa, bisa mendapatkan jumlah penumpangnya 10 juta per tahun, Malaysia penduduk 20 juta jiwa, Amerika 300 jutaan mempunyai armada pesawat komersiil 3000 pesawat, Australia dengan jumlah penduduk 23 juta jumlah penumpang yang diangkut per tahun mencapai 71 juta.
Ratio antara jumlah penumpang dengan seringnya penduduk terbang, minimal rata-rata dua kali, maka idealnya Indonesia jumlah pesawat yang tersedia mencapai 2000 unit dengan jumlah penumpang setahun mencapai 500 juta
Telebih negara kita (Indonesia) adalah kepulauan yang memerlukan mobilitas dengan kecepatan di era modern saat ini. Jadi memang potensi penumpang udara kita masih sangat besar unuk terus berkembang lagi di masa yang akan daang. Mengingat pemerintah juga semakin intensif membangun bandara baru berstandar internasional, seperti NYIA (New Yogyakarta International Airport) Kulonprogo Jogyakarta dan Bandara aero space park komprehensif di Kertajati Majalengka Jawa Barat, bandara Bali Utara di Buleleng.
Atasdasar data potensi yang ada, pada 2019 jumlah penumpang udara domestik diprediski mencapai 100 juta penupang per setahun. Prediski itu, menurut analisa saya, sangat mudah ditembus. Apalagi saat ini sejumlah maskapai sangat gencar menambah armada barunya secara massive. Seperti Lion air memesan sebanyak 230 pesawat baru Boeing 737-900 MAX, Citilink juga memesan sekitar 25 Airbus 320.
Garuda Indonesia saat ini juga telah menjatuhkan pilihan armada asal Canada, yaitu Bombardier kapasitas 100 seat dan ATR turbopropeler Perancis untuk melayani penerbangan feeder. Perusahaan pesawat raksasa dunia Boeing pun tak segan-segan mengadakan off air seminar short course untuk para staff operator di Indonesia yang diisi oleh nara sumber dari pabrikan Boeing-Seatle, Amerika.
Ini semua menunjukkan betapa langit di Indonesia memang memiliki potensi finasial yang maha dasyat. Chairman IATA, Mr Tony Tyler waktu berkunjung ke Jakarta tahun 2011 telah memprediksi perkembangan market penerbangan niaga di Asia Pasifik yang paling besar adalah di China, India, dan Indonesia.
Maka tak heran sampai 2020 di Indonesia akan tetap memerlukan SDM penerbangan sebanyak 2 juta orang. Mulai dari pilot, pramugari, staff mekanik, staf reservasi, staff ticketing dan karyawan darat pada seluruh bandara di Indonesia. Hal ini harus mampu diatasi, seperti operating hours (jam kerja) di bandara bandara luar Jawa yang masih sangat terbatas dan rata-rata tidak bisa dilakukan penerbangan malam (night flight) karena masalah klasik seperti minimnya SDM.
Minimalnya fasilitas bandara luar Jawa seperti fasiltas Instrument Landing System (ILS) yang diperlukan untuk penerbangan malam hari. Ini adalah pertanyaan besar bagi kita untuk mengoptimalkan pasar potensi bisnis penerbangan di Indonesia.
Kekuatan Ekonomi
Sejumlah maskapai domestik yang pada 2016 lalu telah memesan ratusan pesawat baru dari Boeing, Seperti Lion Air memesan 230 pesawat B-737 seri 900 Max dan Garuda juga mencanangkan program armada 150 pesawat baru Boeing dan Airbus. Namun jangan terlena pada tahun 2015 justru kita sudah dihadapkan sebuah tantangan besar memasuki ASEAN Limited Open Sky.
Bila operator penerbangan di tanah air tidak mempersiapkan seedini mungkin kecil kemungkinan wilayah udara kita akan menjadi feeder empuk bagi maskapai maskpai ASEAN yang notabene sangat kuat seperti Singapore airlines, Malaysia airlines dan Thai airways. Dalam beberapa kupasan analis pebisnis penerbangan Singapura di Channel news Asia, nampak negara tetangga Singapura dan Malaysia sangat antuasias menyongsong Asean open sky ini. Maklum Indonesia dengan jumlah penduduk 252 juta merupakan pasar empuk bagi mereka dengan entry port point ke kota kota Indonesia yang sangat ideal bagi Negara Negara tersebut ( Singapura dan Malayasia).
Kita harus cerdas dalam beberapa air talk sekalipun dengan sesama negara ASEAN,harusnya dengan posisi kita yang lebih strategis Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, letak geographis yang luas, serta indicator pertumbuhan ekonomi yang relative stabil, ini merupakan bargaining posistion Indonesia yang sangat kuat dalam era Asean Open sky, dan bola itu harus ditangan Indonesia dalam mengambil sikap yang menguntungkan dalam setiap air talk bilateral di antara Negara Asean.
Sekedar illustrasi, pada konteks yang sama, dalam melindungi "kepentingan integritas udara nasionalnya" negara maju, seperti Canada pun sangat protektif melindungi wilayah udaranya dengan membatasi maskapai Emirates, Uni Arab Emirates dalam menambah frekuensi ke bandara-bandara di Canada, karena dirasa oleh Canada dalam reciprocal traffic-nya sudah tidak berimbang.
Pembatasan landing di Canada untuk Emirates sempat membuat CEO Emirates Sheik al Maktoub melakukan protes, namun diacuhkan saja oleh Canada , proteksi kepentingan nasional dan integritas wilayah ekonomi udara Canada sampai saat ini tidak tergoyahkan .Belajar dari Canada semoga hal tersebut dapat mengilhami pengambil keputusan otoritas udara di Indonesia.
Faktor Keselamatan
Hal yang perlu diperhatikan dengan semakin meningkat pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia adalah harus selalu dijaganya unsur safety apalagi beberapa bulan terakhir ini cukup banyak operator dan beberapa pesawat latih sekolah pilot mengalami kecelakaan fatal.
Anda bisa bayangkan minimnya fasiltas di bandara bandara misalnya di Kalimantan, Sulawesi, kota-kota di Papua, sungguh sebuah ironi besar ditengah geliat dan potensi market bisnis penerbangan di Indonesia yang sangat prosperktif. Namun tidak dibarengi pembangunan infrastruktur pendudukung utamanya. Yakni bandara penerbangan yang memenuhi standard international ( standard ICAO).
Maka tak heran bila maskapai flag carrier Garuda Indonesia masih belum bisa operate-menangguhkan terbang ke kota Wamena, dimana issue kecelakaan pesawat Hercules TNI beberapa bulan yang lalu juga berkaitan issue tak sedap kualitas ATC di Wamena. Semoga masalah ini besar ini mampu dicari jalan keluarnya, bahkan tidak mungkin dengan mengundang investor dari luar untuk segera membenahi fasiltas kebandaraan sehingga potensi market bisnis penerbangan di Indonesia akan terwujud dalam waktu tidak lama lagi. Tentu dengan tetap mengutamakan faktor kenyamanan dan keselamatan penerbangan itu sendiri. (Syam Sk)