Reformasi Angkutan Umum Perkotaan di Indonesia
Senin, 09 Desember 2019, 07:27 WIBBisnisNews.id Prinsip dasar reformasi industri angkutan umum adalah terciptanya institusi pengelola angkutan umum, tarif angkutan umum yang terintegrasi, jaringan angkutan umum yang efisien, kualitas layanan yang andal dan industri angkutan umum yang professional.
Pertama, terciptanya institusi pengelola angkutan umum. Terciptanya badan atau institusi pemerintah yang berfungsi untuk menjamin fleksibilitas serta mengelola manajemen operasional angkutan umum. Kedua, tarif angkutan umum yang terintegrasi.
Dengan terciptanya struktur pembayaran yang terintegrasi untuk semua moda, akan dapat memberikan kemudahan bagi pengguna untuk melakukan transfer antar moda serta mengingkatkan efisinesi dan ketertarikan dalam menggunakan angkutan umum. Ketiga, jaringan angkutan umum yang efisien. Mengoptimalkan rute pelayanan angkutan umum menjadi lebih mudah, sederhana dan terhubung, sehingga dakan menciptakan perjalaan yang efisien, hemat waktu dan biaya yang lebih terjangkau.
Keempat, kualitas layanan yang andal. Armada angkutan umum wajib beroperasi dengan memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketepatan waktu dalam beroperasi armada yang layak jalan, serta pramudi yang dibekali oleh pelatihan yang profesional diperlukan untuk menciptakan layanan angkutan umum yang andal. Kelima, industri angkutan umum yang professional.
Terciptanya pelaku industri angkutan umum yang dapat memenuhi SPM yang telah ditetapkan. Industri yang dapat menjamin keberangsungan kepastian kerja dan kesejahteraan karyawannya.
Menurut A World Bank Urban Transport Strategy Review (2002), kelembagaan angkutan perkotaan berdasarkan alokasi fungsi strategis ada tiga. Pertama, strategy for the city, fokus pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang memiliki tanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pembangunan daerah, mengalokasikan transfer dana antar pemerintah, dan untuk menetapkan kerangka hukum.
Kedua, strategy of the city merupakan wewenang pemerintah kota/kabupaten yang memiliki tanggung jawab untuk menentukan prioritas internal mereka sendiri, melengkapi sumber daya yang tersedia dari sumber lokal, dan mengalokasikan sumber daya di tempat mereka untuk mencapai tujuan kota. Dan ketiga, strategy In the city, fokus pada lembaga pelaksana, baik sektor swasta maupun publik,yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan tugas, atau memasok layanan di bidang transportasi perkotaan.
Langkah awal yang baik
Pada 6 Desember 2019 telah dilakukan Pendantanganan Nota Kesepahaman Perencanaan Pembangunan dan Pengoperasian Angkutan Umum Perkotaan antara Direktur Jenderal Perhubungan Darat dengan 5 Gubernur (Prov. Sumatera Utara, Prov. Sumatera Selatan, Prov. DI Yogyakarta, Prov. Jawa Tengah dan Prov. Bali) dan 5 Walikota.
Ini merupakan langkah awal yang baik untuk melakukan reformasi transportasi umum di daerah. Skmea pembelian layanan atau buy the service akan diberikan pada lima kota sebagai percontohan. Kelima kota yang akan mendapat bantuan operasional hingga seluruh koridor yang dibutuhkan terpenuhi semua. Koridor yang diberikan melayani rute kawasan aglomerasi. Kelima kota itu adalah Medan (8 koridor), Palembang (9 koridor), Yogyakarta (3 koridor), Surakarta (5 koridor), dan Denpasar (5 koridor).
Sebelumnya kelima kota itu sudah mengoperasikan transportasi umum berupa bantuan armada bus. Trans Mebidang di Medan, Trans Musi di Palembang, Trans Yogyakarta di Yogyakarta, Batik Solo Trans di Surakarta dan Trans Sarbagita di Denpasar. Cuma dalam perkembangannya tidak begitu berkembang dengan baik. Salah satu kekurangannya adalah tidak adanya pola subsidi memadai yang tepat.
Sejak 2004, Kementerian Perhubungan telah memulai langkah penataan transportasi umum melalui program bantuan sejumlah armada bus ke sejumlah daerah. Bantuan berupa armada bus besar dan bus sedang, disesuaikan dengan kondisi kapasitas jaringan jalan yang ada. Dimulai dengan masterplan atau rencana induk penataan transportasi umum di daerah yang akan diberikan bantuan armada itu.
Ada yang masih bertahan hingga sekarang dan berkembang, tetapi cukup banyak juga hanya beroperasi ala kadarnya. Terlebih jika mendapatkan kepala daerah berikutnya yang tidak memiliki kemauan dan komitmen politik memajukan transportasi umum, dipastikan program yang sudah dilakukan kepala daerah sebelumnya tidak dilanjutkan. Disamping itu, kelemahan selama ini tidak dilakukan pembinaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi oleh Ditjenhubdat.
*Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat