Rencana Kenaikan Cukai Rokok Tahun 2020 Harus Disikapi Dengan Bijaksana
Selasa, 24 September 2019, 17:39 WIBBisnisNews.id -- Rencana Pemerintah menaikkan cukai rokok 23 persen pada 2020 hendaknya disikapi dengan bijaksana, termasuk para pengusaha rokok di Tanah Air. Para pelaku usaha rokok jangan apriori apalagi menolak rencana kenaikan cukai rokok tersebut. Harga rokok di dalam negeri masih relatif terjangkau. Sementara, dampak negatifnya sudah di depan mata, apalagi jika tidak dikendalikan dengan baik.
"Penolakan kalangan pengusaha (terhadap kenaikan cukai rokok) dapat disebut sebagai sikap apriori yang tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada selama ini," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria kepada pers di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Sofyano Zakaria merinci, jika kenaikan cukai 100 persen saja, maka harga rokok masih sangat terjangkau oleh konsumen. Fakta sekarang, tarif cukai rokok rata rata Rp500 per batang rokok, maka rokok isi 12 batang masih terkena cukai Rp6.000. Harga jual di toko eceran Rp14.000 per bungkus.
Jika cukai dinaikkan 100 persen maka cukai menjadi Rp1.000 per batang rokok, masih terjangkau oleh oleh konsumen Indonesia. "Artinya harga rokok 12 batang dijual dengan harga Rp25.000 per bungkus. Harga itu masih sangat terjangkau oleh konsumen," jelas Sofyano.
Dia berpendapat, saat ini pun harga rokok eceran antara Rp20.000 sampai Rp35.000 per bungkus. Ini adalah harga jual rokok yang tergolong sangat murah bila dibanding harga rokok di Singapura yang rata rata harta rokok sigaret mesin sekitar Rp150.000 per bungkus.
Jadi, tegasnya, menurut Puskepi, kalaupun Pemerintah menaikkan cukai rokok sampai 100 persen dari cukai sekarang, maka harga rokok di Indonesia masih sangat murah dibandingkan dengan harga rokok di negara ASEAN lainnya.
Penjualan Rokok Turun ?
Oleh karena itu, kata Zakaria, jika ada penolakan dari kalangan pengusaha rokok, terutama pengusaha rokok besar di Tanah Air dengan alasan utama adalah kekhawatiran penjualan rokok akan menurun dan keuntungan perusahaan akan berkurang, maka hal itu sejatinya, rasa kuatir yang tidak beralasan dan tidak perlu.
Sofyano menilai kenaikan (cukai 23 persen) tahun depan adalah kenaikan yang wajar karena pada 2019 cukai tidak mengalami kenaikan. "Kalau kenaikannya diakumulasi ke 2020 tentu sudah proporsional. Rata rata kenaikan cukai setiap tahun sekitar 8-10 persen," katanya.
Dengan rata rata kenaikan tahunan 8-10 persen tersebut, lanjut dia, belum pernah perusahaan rokok mengalami penurunan penjualan, penurunan keuntungan, apalagi sampai bangkrut.
"Sehingga kalau ada yang membuat isu bahwa kenaikan cukai sebesar 23 persen pada 2020 akan menyebabkan perusahaan rokok bangkrut, itu adalah sikap mengada-ngada dan terkesan itu hanya strategi pengusaha," katanya.
Dengan demikian, tambah Zakaria, pengusaha tidak perlu kuatir, apalagi melakukan langkah langkah reaktif dengan mengerahkan buruh buruh atau ormas-ormas melakukan penolakan.
Pengusaha rokok, kata dia lagi, sudah saat nya memberi perhatian kepada masyarakat terkait harga rokok agar harga rokok tidak sangat murah yang bisa berdampak terhadap kesehatan.
"Harga rokok yang bisa menyamai seperti harga jual di Singapura, setidaknya bisa menekan ancaman bahayanya rokok bagi kesehatan sebagaimana tercantum pada setiap bungkus rokok," tegas Sofyano.(helmi)