Revitalisasi Angkutan Massal Berbasis Jalan di Indonesia
Minggu, 15 Desember 2019, 07:59 WIBBisnisNews.id -- Layanan bus angkutan perkotaan di berbagai kota Indonesia semakin kehilangan daya saingnya. Operator angkutan umum gagal menawarkan keunggulan layanan yang aman, selamat, nyaman dan terjangkau. Pada saat bersamaan, masyarakat semakin tergantung pada penggunaan kendaraan pribadi untuk kepentingan mobilitas sehari-hari. Akibatnya, jumlah penumpang angkutan perkotaan semakin turun karena memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi (Wahid, 2019).
Intervensi pemerintah dalam penyediaan layanan angkutan perkotaan diperlukan untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar dan mengawal proses transformasi pengusahaan angkutan perkotaan, sehingga mampu mencapai kondisi yang diinginkan. Proses transformasi diarahkan agar pengelolaan angkutan umum dijalankan oleh suatu badan hukum.
Potensi urbanisasi sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi terkendala kemacetan. Penyebabnya adalah terbatasnya pembangunan angkutan umum massal perkotaan. Selain Jakarta, pangsa angkutan umum di kota dan pedesaan masih di bawah 10 persen. Bahkan, di Denpasar (Bali) sudah sulit menemukan angkutan umum. Adanya ojek daring dan taksi daring yang semakin marak keberadaannya.
Push and pull strategy
Push strategy adalah strategi untuk memaksa masyarakat keluar dari kendaraan pribadi dan berpindah menggunakan angkutan umum. Strategi ini memfokuskan pada manajemen ruang dan waktu untuk akses kendaraan pribadi dilakukan dengan pengaturan penggunaan ruang jalan dan ruang parkir.
Sementara, Pull strategy adalah strategi untuk menarik masyarakat menggunakan angkutan massal perkotaan. Layanan angkutan massal perkotaan harus memiliki kualitas prima yang setara atau lebih unggul dibandingkan dengan kendaraan pribadi, sehingga dapat bersaing dengan kendaraan pribadi. Layanan prima dicapai dengan menyediakan layanan angkutan massal perkotaan sebagai moda prioritas dan bersifat door-to-door service.
Prioritas angkutan massal perkotaan diwujudkan dengan memberikan proteksi dan subsidi. Proteksi ditujukan untuk memastikan angkutan massal memiliki keunggulan operasional (misal, waktu tempuh, ketepatan waktu, dan kepastian layanan) dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Sementara itu, subsidi ditujukan untuk memastikan kualitas layanan prima dengan tarif terjangkau.
Layanan door-to-door service mensyaratkan konektivitas menerus atau seamless connectivity antara angkutan massal perkotaan dengan pedestrian atau jalur pesepeda.
Indikator keberhasilan penerapan push and pull strategy adalah peningkatan modal share angkutan massal perkotaan dari pengguna kendaraan pribadi yang berpindah menggunakan angkutan massal perkotaan.
Tiga pilar kebijakan
Tedapat tiga pilar kebijakan yang akanj dilaksanakan secara pararel dalam arti dalam satu paket kebijakan untuk menuju keberhasilan transportasi perkotaan yang berkelanjutan.
Pertama peningkatan peran angkutan umum yang berupa penyediaan sarana angkutan umum perkotaan berbasis bus, penyediaan prasarana fasilitas pendukung angkutan umum perkotaan, penyediaan fasilitas integrasi moda, penyediaan sistem informasi angkutan umum (public transports information system) dan sosialisasi penataan angkutan umum.
Kedua, peningatan kinerja lalu lintas, berupa peningkatan kinerja ruas jalan di wilayah perkotaan, penerapan teknologi informasi untuk kepentingan lalu lintas, penerapan manajemen kebutuhan lalu lintas (traffic demand management), pelaksanaan analisis dampak lalu lintas (andalalin) dan sosialisasi manajemen dan rekayasa lalu lintas.
Ketiga, peningkatan kualitas lingkungan, berupa peenerapan teknologi alat pengatur dan isyarat lalu lintas (APILL) dan penerangan jalan umum (PJU) hemat energi, pemanfaatan bahan bakar alternatif, penyediaan fasilitas pejalan kaki, penyediaan jalur sepeda di wilayah perkotaan dan sosialisasi transportai ramah lingkungan.
Teknologi informasi bus sistem transit (BST) adalah memasang geographic positon system (GPS) untuk mengetahui posisi dan kecepatan kendaraan. Tiket elektronik di dalam bus (e -ticketing on bus), sehingga dapat melakukan pemantauan pendapatan secara real time. Demi keamanan penumpang ada pemasangan beberapa closed circuit television (CCTV) di dalam bus.
Rencananya menggunakan bus lantai normal (normal deck) atau lantai rendah (low deck) dengan pertimbangan murah biaya untuk pembangunan infrastruktur pendukungnya. Selain itu, halte cukup berupa rambu bus stop, jika belum ada anggaran untuk membangun halte yang representatif.
Hal tersebut jelas tidak akan mengganggu mobilitas pejalan kaki dan memperhatikan kebutuhan sahabat disabilitas, lanjut usia (lansia), anak dan wanita hamil baik di halte maupun di dalam bus.
*Djoko Setijowarno, akademisi FT Sipil Unika Soegijopranoto Semarang dan Kabid Advokasi MTI