Tahun Depan, Tiket Pesawat Udara Bakal Meroket
Rabu, 14 Desember 2016, 20:42 WIBBisnisnews.id - Merangkak naiknya harga minyak dunia dalam dua pekan kedepan atau pada awal tahun 2017, belum berpengaruh besar terhadap industri penerbangan nasional, karena masih tertutupi oleh musim padat penumpang liburan panjang.
Namun menurut Sekjen INACA, Tengku Burhanudin, keresahan itu akan mulai dirasakan berat pada pertengahan tahun 2017. Sebab, pada periode itu, minyak dunia naik cukup tinggi sebagai imbas dari keputusan OPEC yang akan menaikkan minyak mentah dari 30 dollar AS menjadi 70 dollar AS per barel.
"Ini pengaruhnya sangat besar bagi industri penerbangan, termasuk juga moda transportasi lain seperti kapal laut," kata Tengku pada Bisnisnews.id, Rabu (14/12/2016) di Jakarta.
Keputusan OPEC itu sempat juga mengagetkan banyak pihak, karena naiknya cukup tinggi atau lebih tepatnya pindah harga. Walau masih ada negara-negara non OPEC tapi harga avtur, sebagai bahan bakar pesawat udara dipastikan ikut terdongkrak.
Pergerakan harga itu, kata Tengku, sangat wajar, dan menggoyang seluruh aktivitas penerbangan cukup kuat, bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia. Sehingga bisa diprediksi akan ada kenaikan harga tiket pesawat pada seluruh maskapai.
Terdongkraknya harga tiket pesawat itu tidak bisa dihindari, ini adalah hukum pasar, yang mau tak mau wajib diikuti, atau tersingkir dari arena. "Kalau avtur naik, biaya operasional juga tinggi. Mau gak mau harus ikuti permainan pasar," jelasnya.
Kendati demikian, kata Tengku, maskapai nasional sudah teruji dalam menghadapi beragam badai yang mengguncang perekonomian dunia. " Indonesia bukan anggota OPEC, sayangnya belum memproduksi minyaknya sendiri sehingga tidak bisa terhindar," jelasnya.
Di sisi lain, keputusan OPEC membuat gairah bagi pedagang, pemasok minyak termasuk pemerintah Indonesia, karena harga jual jadi tinggi. "Pemerintah kan jadi dapat uang banyak ya," jelasnya.
Sebelumnya para anggota OPEC dan non OPEC memutuskan untuk mengurangi produksi. Keputusan itu diperkirakan bakal membuat defisit minyak di pasar global, pada semester pertama 2017.
Menurut Badan Energi Internasional/Internasional Energy Agency (IEA), stok minyak akan turun sekitar 600.000 barel per hari dalam enam bulan ke depan setelah sebelumnya diasumsikan bahwa persediaan tidak akan turun hingga akhir 2017.
Harga minyak telah naik lebih dari 16 persen sejak kesepakatan OPEC, 30 November dan diperluas lagi dengan partisipasi Non OPEC, termasuk Rusia dan Kazakhtan pada 10 Desember 2016.
Dalam laporan pasar bulanan yang dikeluarkan IEA, sebelumnya diperkirakan pasar akan kembali seimbang pada akhir 2017. Namun jika OPEC dan non OPEC berjalan sesuai kesepakatan, maka pasar mungkin akan defisit di semester pertama 2017.
Penurunan persediaan hanya akan terjadi jika OPEC mengurangi pasokan dan bersikeras mempertahankan target sekitar 32,7 juta barel per hari. Di bulan November saja, rekor OPEC mencapai 34,2 juta barel per hari, menurut IEA, lembaga di Paris yang menyarankan kebijakan energi di 29 negara.
Ada beberapa tanda-tanda defisit sudah dimulai. Sementara minyak mentah dan olahan di negara-negara OPEC di atas rata-rata 300 juta barel dalam lima tahun ini, persediaan mereka turun pada bulan Oktober. Ini angka penurunan terjauh sejak 2011, menurut badan tersebut.
IEA juga mengestimasi total pasokan dari non-OPEC hanya sekitar 57 juta barel per hari di tahun 2017. Sedangkan Rusia yang akan menerapkan pemotongan bertahap 300.000 barel, jatuh menjadi 11,3 juta barel per hari pada kuartal kedua.
Sementara walau Kazakhstan ditekan secara politis untuk membuat sedikit pengurangan, IEA memproyeksikan bahwa output Kazakh akan tumbuh sebesar 160.000 barel per hari tahun depan. (Syam Sk)