Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi - JK, Ekonomi Rakyat Masih Suram
Selasa, 10 Oktober 2017, 13:50 WIBOleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Pejaten Timur Jaksel.
Bisnisnews.id-Oktober ini pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo sudah menginjak usia tiga tahun. Banyak hal telah dikerjakan. Tak sedikit prestasi telah diraih. Sayangnya, banyak pula janji yang belum ditepati. Tentunya janji yang diluncurkan saat kampanye dulu.
Rakyat punya penilaian sendiri atas kinerja pemerintah. Ini gampang ditelusuri. Misalnya, melalui media sosial. Lebih banyak warga bercuit bahagia atau sebaliknya? Ataukah lebih dominan yang menyebarkan informasi olok-olok alias hoax? Kalau ya, ini salah satu pertanda ketidakpuasan terhadap hasil kerja pemerintah.
Karena itu, pemerintah jangan hanya sibuk perang melawan hoax, tapi juga harus lebih getol berbuat untuk kesejahteraan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketika rakyat makin sejahtera dan keadilan merata, mereka tidak gampang digoyang dengan hoax. Jadi, cara efektif membasmi sekaligus menangkal hoax sesungguhnya dengan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan.
Telusuran berikutnya dapat dilakukan lewat survei. Tentu harus diakui survei belum mencerminkan rekaman sepenuhnya dari kondisi real (nyata). Namun, setidaknya dapat dijadikan potret secara umum.
Lewat survei, sekarang terungkap elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi merosot jatuh. Menurut Media Survei Nasional (median), elektabilitas Jokowi menukik tajam ke angka 36,2 peesen. Hasil survei Median ini dirilis pada Senin (02/10/17).
Bagi seorang petahana, angka ini sudah “'ampu kuning". Normalnya, harus di atas 50 persen. Tren penurunan tampak konsisten sejak awal tahun. Sebab, lima bulan silam, pada Mei, Litbang Kompas juga merilis hasil surveinya yang menunjukkan elektabilitas Jokowi tidak sampai 50 lersen, tepatnya hanya 41,6 persen. Jadi, "lampu kuning" bukan sekonyong-konyong baru sekarang.
Kemerosotan elektabilitas kemungkinan belum akan berhenti. Sebab, tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi terus tergerus. Salah satu hal substansial yang dialami masyarakat dan belum mendapat solusi tokcer dari Jokowi adalah ekonomi real. Maksudnya, bukan ekonomi dalam data-data indah di laci birokrasi.
Berprestasi, Tapi…
Macam-macam Paket Ekonomi dari jilid satu sampai 16 telah pemerintah luncurkan. Bagi dunia usaha, ini terobosan sangat fundamental dan visioner, melompat nun jauh ke depan. Birokrasi perizinan dipangkas, urusan jadi transparan, efisiensi waktu diutamakan, ekonomi biaya tinggi dihilangkan, serta aneka kemudahan disuguhi untuk investasi. Semua ini prestasi amat membanggakan. Belum pernah terjadi pada pemerintahan sebelumnya.
Sayangnya, itu semua belum dapat dirasakan langsung oleh rakyat di strata bawah. Masyarakat kelas bawah ini jumlahnya paling besar dalam struktur piramida demografi nasional. Mungkin mereka masih harus menunggu 4-5 tahun mendatang.
Tak kalah hebat adalah reformasi sektor agraria. Sertifikasi tanah rakyat ditingkatkan. Target sertifikasi tahun 2017 mencapai 5 juta bidang lahan. Ini melonjak lima kali lipat ketimbang 2016. Target terus digenjot dan pada 2019 harus mencapai 9 juta bidang tanah. Keberpihakan pemerintah pada rakyat benar-benar nyata.
Tapi, untuk urusan perut saat ini, rakyat masih sering merintih. Mereka mengalami banyak impitan. Indikatornya angka kriminalitas masih tinggi. Pencurian, perampokan, begal, penipuan, dan segala bentuk keculasan sejenisnya terjadi merata di seluruh daerah. Mereka terpaksa beraksi kriminal untuk menutup kebutuhan hidup hari ini. Minuman keras (miras) oplosan sering menjadi "pelarian" dari akumulasi kesulitan.
Masih seabrek lagi prestasi besar yang telah dikantongi. Tapi, ternyata terjadi ketimpangan antara prestasi besar itu dengan kondisi riil ekonomi rakyat. Kalau meminjam istilah kerennya terjadi kesenjangan antara yang makro dan yang mikro. Urusan rakyat kecil masuk kategori mikro.
Rakyat tetap didera kegetiran hidup. Kondisi ekonomi sungguh belum move on(beranjak) dari level sulit-pahit. Ini semua mengakibatkan kepercayaan kepada pemerintahan terus tergusur. Akibatnya, elektabilitas Jokowi terus meluntur. Ini tercermin pada survei.
Namun, bukan berarti sudah kiamat bagi mantan wali kota Solo, Jawa Tengah, ini. Ada tersisa waktu cukup panjang, sekitar 1,5 tahun, menyongsong pilpres 2019. Masih sangat leluasa untuk menciptakan kebijakan "perut kenyang" bagi rakyat.
Kalau waktu yang tersedia itu dapat diefektifkan, maka pada 2019 nanti pendukung Jokowi pastilah berseri-seri.
Kalau tidak, maka jangan-jangan, pada gilirannya nanti, rakyat membuka lowongan mencari bos baru. Bagi bos lama, yah… mohon panggul koper dari Istana. (*)