ALFI Keberatan Atas Usulan Pencabutan Subsidi BBM Solar
Selasa, 16 Juli 2019, 20:49 WIBBisnisnews.id -- Usulan pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar oleh pengusaha trucking mendapat respon negatif kalangan pelaku usaha forwading. Pencabutan subsidi solar dinilai bakal berdampak buruk terhadap rantai pasok dan membengkaknya biaya logistik nasional.
Wakil Ketua Umum DPP ALFI bidang Rantai Pasok, Digital Logistik dan e-Commerce Trismawan Sanjaya mengaku sangat khawatir bila usulan pencabutan subsidi BBM jenis solar dipenuhi Pemerintah dan DPR.
Trismawan dalam pernyataannya yang diterima Bisnisnews, di Jakarta, Selasa (16/7/2019) malam mengingatkan, Pemerintah dan pihak terkait agar mengurungkan niat pencabutan subsidi solar tersebut.
Pencabutan subsidi BBM jenis solar itu berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi berpotensi terjun bebas, dan daya beli masyarakat anjlok.
"Tinggal pilih mana, mau memenuhi usulan pencabutan subsidi solar atau daya beli terperosok karena tingginya biaya logistik," kata Trismawan.
Kendati demikian, dia memahami yang dirasakan pengusaha trucking terhadap rencana kebijakan pembatasan kuota BBM subsidi jenis solar untuk truk roda enam atau lebih.
Namun masih ada solusi yang lebih ideal ketimbang mencabut subsidi BBM solar hanya karena pengurangan kuota. Karena itu, ALFI mengajak semua pihak duduk bersama dan dengan kepala dingin membahas masalah tersebut.
"Pastinya, semakin memperburuk situasi, menekan daya saing produk ekspor karena biaya logistik yang akan turut naik, serta mendongkrak laju inflasi beberapa komoditas pokok di daerah, khususnya wilayah Timur Indonesia yang jauh dari pusat industri produsen," kilah Trismawan.
Dikatakan Trismawan, dalam hal kebijakan antisipasi pembatasan pemakaian solar, seharusnya di prioritaskan dengan menyediakan energi alternatif (diversifikasi energi) yang mampu mendukung efisiensi biaya logistik serta meningkatkan daya saing produk unggulan ekspor." tukas dia.
Dalam situasi neraca perdagangan yang terjadi saat ini, dikhawatirkan bahwa penghapusan subsidi bahan bakar minyak, solar dapat pula memicu makin tidak terkendalinya defisit neraca perdagangan.
Ide Pembatasan Konsumsi BBM
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan, pemberian BBM solar subsidi tapi harus dibatasi, hanya akan menambah beban pelaku usaha angkutan.
Selama ini, kata Gemilang, yang menikmati subsidi bukan pengusaha angkutan (truck), tapi pemilik barang. Usulan pencabutan subsidi solar untuk truck roda enam itu sudah disampaikan dalam rapat dengan
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Selasa, Selasa siang menggelar rapat yang intinya kuota BBM solar menipis dan butuh langkah antisipasi jitu. Rapat di kantor BPH Migas Jakarta tersebut diikuti oleh PT.Pertamina (Persero), PT.AKR Corporindo Tbk, dan DPP Hiswana Migas.
Gemilang mengatakan, BPH Migas menyampaikan perlunya pembatasan volume penggunaan BBM Solar bersubsidi terhadap truk barang yang memiliki roda diatas empat roda, mengingat potensi adanya over kuota penggunaan jenis BBM tertentu /JBT (solar subsidi).
"Bahkan dalam pertemuan itu, BPH Migas menyampaikan, bahwa kuota BBM solar tahun ini hanya cukup untuk pemakaian sampai dengan bulan Oktober 2019 mendatang atau sekitar hanya cukup untuk tiga bulan. Makanya BPH Migas menilai perlu ada pembatasan penggunaan JBT Solar subsidi," ujar Gemilang.
Gemilang menyatakan, pengusaha truk justru lebih setuju jika harga BBM jenis Solar subsidi dihapuskan, dan truk logistik sebaiknya menggunakan harga BBM industri, ketimbang menggunakan BBM Solar subsidi namun dibatasi jumlahnya.
Alasannya, subsidi BBM terhadap truk logistik selama ini tidak tepat sasaran lantaran yang menikmati subsidi tersebut bukan pengusaha angkutan/truk logistik, tetapi justru dinikmati pengguna truk/pemilik barang karena tarif angkutnya murah.
"Perusahaan truk tidak menikmati subsidi BBM Solar itu, karena tarif angkut barang selalu mengacu pada harga BBM yang digunakan.Jadi sebaiknya industri logistik tidak perlu lagi disubsidi, diserahkan saja pada mekanisme pasar," tandas Gemilang. (helmi)