Awas, Ada Konspirasi Untuk Menjarah Kekayaan Alam Indonesia
Sabtu, 30 November 2019, 06:27 WIBBisnisNews.id -- Perlindungan dan advokasi terhadap kekayaan sumber daya alam (SDA) minerba milik rakyat yang bernilai ribuan triliun rupiah perlu terus dilakukan. Para aktivis, LSM, tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa. Anggota-anggota DPR yang amanah harus tetap waspada, termasuk terhadap para pemimpin hipokrit yang memilih bekerja bagi kepentingan oligarki dibanding bagi rakyat.
Pemerintah dan DPR Periode 2014-2019 telah berupaya merevisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) No.4/2009 secara tertutup dalam dua kesempatan, yakni Januari-April 2018 dan Agustus-September 2019.
"Menjelang berakhirnya masa tugas, mereka bekerja sekuat tenaga untuk menuntaskan revisi UU minerba, terutama karena adanya kepentingan melanggengkan dominasi oligarki dan sejumlah kontraktor besar terhadap sumber daya minerba negara," kata pengamat energi dan mantan anggota DPD Marwan Batubara di Jakarta.
Baca Juga
PERAWATAN
Pengelola Tol Jagorawi Kembali Melakukan Rekonstruksi, Pengendara Diminta Berhati-Hati
DASHBOARD FERIZY
Operator Kapal Ferry Kini Dapat Monitor Data Produksinya Secara Real Time
PELAYANAN PUBLIK
Tarif Penyeberangan Naik 5,26 Persen, Pengusaha: HPP Minus 26,44 Persen, Pemerintah Janji Ada Susulan
Bulan Oktober 2019, lanjut dia, guna merespon tuntutan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak Revisi UU KPK dan rencana penetapan 4 RUU, Presiden Jokowi memang telah meminta agar pengesahan RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pertanahan dan RUU Permasyarakatan ditunda.
"Namun, terhadap UU KPK yang telah ditetapkan lebih dulu, Jokowi bergeming dan menyatakan tidak akan menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang telah disahkan DPR pada 17/9/2019," jelas Marwan lagi.
Penundaan penetapan keempat RUU di atas, termasuk di dalamnya revisi UU Minerba, menurut Presden Jokowi adalah untuk bisa mendengarkan dan mengakomodasi masukan-masukan berbagai kalangan.
"Dikatakan, banyak kritik yang didapat soal pengesahan RUU tersebut (23/9/2019). Kata Jokowi: "Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, substansi yang lebih baik sesuai keinginan masyarakat, sehingga RUU tersebut agar nanti masuk ke DPR selanjutnya," kata Jokowi saat itu.
Faktanya, menurut Marwan, Presiden Jokowi tidak bersikap konsisten dan patut diduga terlibat konspirasi oligarkis. Keempat RUU di atas katanya ditunda untuk bisa mendapat masukan dari publik. Ternyata untuk UU KPK, jangankan masukan dari masyarakat, bahkan untuk mengikuti pembahasan terbuka oleh Pemerintah dan DPR saja, publik tidak diberi kesempatan.
"Artinya telah terjadi konspirasi oleh pemerintah, DPR dan partai-partai pendukung, serta para pengusaha besar yang berkepentingan," jelas Marwan lagi.
Kalau dirunut, papar Marwan, hanya butuh waktu 2-3 minggu bagi DPR dan pemerintah untuk mengesahkan RUU KPK. Pekan pertama September 2019, DPR memutuskan akan membahas revisi UU KPK yang tertunda sejak 2017. DPR RI menyetujui RUU KPK menjadi inisiatif DPR pada 5/9/2019 dan mengirimkan draftnya kepada pemerintah pada 6/9/2019.
Presiden Jokowi menerbitkan surat penugasan kepada Menkumham dan Meneg PAN pada 11/9/2019 untuk pembahasan dengan DPR. Setelah pembahasan 3-4 hari, UU KPK yang baru ditetapkan pada 17/9/2019.
"Ternyata Presiden Jokowi tidak konsisten dengan ucapan sendiri untuk melibatkan masyarakat memberi masukan. Pembahasan berlangsung super cepat dan tertutup, dan jelas melanggar azas dan ketentuan UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," sebut Marwan.
Dengan sikap seperti di atas, maka Jokowi patut diduga terlibat konspirasi melemahkan KPK dan patut pula diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945 karena melanggar UU No.12/2011. "Dengan ketentuan yang ada dalam UU KPK yang baru, sejumlah oknum yang selama ini terduga koruptor akan lolos dari jerat hukum," sebut dia.
"Dan Jokowi dapat pula dianggap bertanggungjawab atas lolosnya pada terduga koruptor untuk diadili. Seperti diketahui ada sejumlah oknum pejabat dan pengusaha yang namanya sudah beredar luas terlibat dalam kasus-kasus korupsi E-KTP, Bank Century, BLBI, dan sebagainya," tandas Marwan.(nda/helmi)