Azas Cabotage, Awas ....! Ada Upaya Mengkerdilkan Pelayaran Nasional
Kamis, 19 September 2019, 23:37 WIB
Bisnisnews.id - Azas cabotage , yang menjadi pendorong utama pertumbuhan industri pelayaran nasional melalui Inpres 5 / 2005 dan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran mulai terancam.
Padahal, azas cabotage menjadi lokomotif yang sangat strategis dalam melindungi perusahaan pelayaran dan pelaut Indonesia sekaligus mendongkrak industri pelayaran nasional.
Sejatinya, armada pelayaran nasional dilindungi, karena memiliki kekuatan besar dalam menjaga kedaulatan negara. Bahkan dalam Undang-undang No. 03/2002 tentang Pertahanan Negara, armada niaga nasional menjadi salah satu komponen pertahanan negara yang dapat dimobilisasi jika negara dalam keadaan bahaya, termasuk penanggulangan bencana alam.
Sayangnya, ada saja pihak-pihak yang terus mengusik azas cabotage, melalui upaya revisi Undang-Undang Nomor 17/2008 tentang pelayaran. Bisa jadi kalau revisi itu benar-benar terwujud terutama yang terkait dengan azas cabotage, kapal-kapal asing kembali menguasai pasar angkutan komoditi dalam negeri.
Padahal banyak negara di dunia, telah melindungi industrinya sendiri dengan menerapkan asas cabotage. Seperti, Amerika Serikat, Brazil, Kanada, Jepang, India, China, Australia, Phillipina dan sebagainya.
Menyikapi rencana revisi UU 17/2008 tersebut Ketua Umum Women in Maritime Indonesia (WIMA INA) yang juga pakar hukum maritim, Chandra Motik menyayangkan masih adanya pihak-pihak yang ingin menggemboskan industri pelayaran nasional.
Catatan Bisnisnews, pada Maret 2005, jumlah kapal berbendera Indonesia sekitar 6.000 unit dan saat ini sudah meningkat menjadi lima kali lipat atau sekitar 30 ribu unit per Januari 2019.
Total kapasitas angkut juga meroket dari 5,67 juta GT pada 2005 menjadi lebih dari 40 juta GT
Kekuatan armada nasional yang tumbuh sangat signifikan sejak 2005 ini juga mampu melayani seluruh pendistribusian kargo domestik, yang sebelumnya diangkut kapal asing.
UU Nomor 17/2008 tentang pelayaran dan Inpres 5/2005 mewajibkan seluruh komoditi nasional diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan awak kapal berkebangsaan Indonesia, seperti tertuang Pasal 8 Poin Satu UU No.17/2008.
Selanjutnya Pasal 56 menyebutkan, pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional.
Pasca pemberlakuan azs cabotage , 95 persen komoditi nasional dilayani kapal-kapal bendera Indonesia yang sebelumnya dikuasai kapal asing. Kegiatan angkutan perusahaan nasional dan BUMN wajib menggunakan kapal berbendera merah putih dan awak kapal berkebangsaan Indonesia.
"Apa urgensinya merevisi UU 17/2008 dan mengutak - atik azas cabotage. Ini adalah cara- cara yang tidak bagus dan ingin kembali mengkerdilkan industri pelayaran nasional," tegas Chandra Motik, di sela-sela Sarasehan dan peringatakan HUT ke 4 Wima Ina di Labuan Bajo, Rabu (18/9/2019) malam yang juga dihadiri Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto dan stake holder terkait.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan, salah satu poin revisi itu ialah mengutak-atik perihal azas cabotage yang memungkinkan kapal asing kembali berpeluang mengangkut penumoang dan atau barang di perairan Indonesia.
"Azas cabotage itu menjadi kebanggaan kita. Kalau sampai direvisi, kedaulatan kita akan terinjak-injak dan aneh, kita di negara kepulauan tapi belum bisa mengatur pelayaran kita sendiri," tegas Carmelita.
Azas cabotage merupakan hak ekslusif negara untuk menyusun beleid , termasuk di sektor pelayaran. Artinya, cabotage itu ditetapkan untuk melindungi kekayaan dan pasar dalam negeri.
Menurut Carmelita, sejak diimplementasikannya azas cabotage, investasi pengadaan armada pelayaran dan industri terkait terus tumbuh. " Kami terus berjuang, agar pemerintah menjadikan pelayaran dan armada merah putih sebagai bagian dari infrastruktur, dan kita menjadi tuan rumah di negara kita sendirj," tuturnya. (Syam S)