Daftar Negara Paling Korup, Indonesia Duduki Peringkat Ke-80
Rabu, 14 Desember 2016, 02:51 WIB
Bisnisnews.id-Lembaga internasional anti korupsi, TRACE International dalam laporannya menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-80 dalam hal suap dan korupsi.
TRACE Matrix itu juga menjelaskan kantor Bea Cukai sangat rentan untuk menerima suap dan memungkinkan untuk terlibat korupsi dibandingkan sektor ekonomi lainnya.
TRACE International, sebuah lembaga internasional anti korupsi tercatat sangat independen dan tidak mencari atau menerima pendanaan dari pemerintah manapun.
TRACE Matrix mengukur risiko bisnis suap di 199 negara. Keseluruhan skor risiko diambil dari empat domain yaitu Interaksi Bisnis dengan Pemerintah, Penegakan Hukum Anti-suap, Transparansi Pemerintah dan PNS, serta Transparansi dan Kapasitas Pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk peran media. Matriks dimulai dari skor 1 sampai 100 - semakin tinggi skor, semakin besar risiko bisnis penyuapan.
Dalam laporan terbarunya, Indonesia menduduki peringkat ke 80 perihal suap korupsi dengan total skor 55, dengan perincian sebagai berikut: Interaksi Bisnis dengan Pemerintah skor 61; Penegakan Hukum Anti-suap skor 33; Transparansi Pemerintah dan PNS skor 29; Transparansi dan Kapasitas Pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk peran media skor 44. Ranking Indonesia ini tidak bergerak naik dibandingkan TRACE Matrix tahun 2014.
Dalam artikel yang dirilis secara eksklusif oleh aircargoeye.com, bea cukai dan instansi pemerintah lainnya dianggap sebagai bagian yang sering korupsi dari seluruh rantai pasokan kargo udara dan logistik, demikian menurut badan anti korupsi TRACE Internasional.
"Operasi Bea Cukai dan instansi pemerintah lainnya yang terletak di pelabuhan dan bandara, secara konsisten merupakan bagian yang sering disalah gunakan dalam rantai pasokan logistik. Hal ini terjadi karena mereka sering berinteraksi dengan kantor pemerintah asing yanng membutuhkan mitra bisnis," kata Alexandra Wrage, presiden TRACE Internasional.
Sebuah studi oleh Bank Dunia yang berfokus pada perdagangan internasional 2017, menekankan perihal kurangnya transparansi Bea Cukai, "Dalam dunia perdagangan internasional, khususnya dalam prosedur bea cukai, korupsi dapat tumbuh subur karena kantor Bea Cukai mengelola sesuatu yang sangat bernilai yaitu akses ke pasar internasional, "demikian laporan terbaru dari Bank Dunia.
Penelitian menunjukkan bahwa kantor Bea Cukai sangat rentan untuk menerima suap dan memungkinkan untuk terlibat korupsi dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Proses impor dan ekspor akhirnya terkena imbas. "Petugas bea cukai yang curang dapat mengabaikan peraturan impor dan membebaskan barang dari inspeksi. Atau penyalahgunaan peran penjaga gerbang selama prosedur ekspor." demikian isi laporan tersebut.
Proses manual berbasis kertas dapat dengan mudah dimanipulasi sehingga menyebabkan praktik korupsi sistemik di banyak negara. "Rendahnya tingkat otomatisasi dan komputerisasi di banyak lokasi terpencil, kurangnya pelatihan dan profesionalisme dari pihak kantor pemerintah asing, menambah risiko terjadinya suap di Bea Cukai dan pelabuhan," jelas Wrage.
Laporan Bank Dunia itu menunjukkan pentingnya peran teknologi dalam menanggulangi korupsi. "Peningkatan digitalisasi perdagangan yang meminimalkan interaksi manusia akan menciptakan peluang yang lebih sedikit untuk suap dan penipuan," Wrage menambahkan.
Sebuah contoh sederhana adalah bagaimana Filipina saat ini telah berhasil memerangi korupsi di layanan Bea Cukai dengan mengadopsi sistem teknologi modern yang membatasi interaksi manusia serta memberlakukan hukuman berat ke kantor korup. Dan sebagai hasil dari reformasi anti-korupsi ini, sekitar 70 persen impor ke Filipina kini bisa diproses melalui saluran hijau hanya dalam dua jam saja.
Diakui sistem administrasi otomatisasi dan digitalisasi mampu menghilangkan sebagian kekuatan monopoli kantor Bea Cukai, "Sistem Single Window dapat diterapkan untuk mencegah korupsi dalam pelayanan Bea Cukai." laporan tadi menegaskan.
Sistem ini diperlukan di negara seperti Meksiko yang transportasi dan sektor logistiknya masih sangat terbebani oleh proses manual yang korup. Korupsi dan inkonsistensi di divisi Bea Cukai negara Amerika Latin ini adalah kelemahan operasional mereka, demikian sorotan World Economic Forum (WEF) yang diterbitkan pada bulan Juni tahun ini.
Wrage memperingatkan, "Untuk industri kargo udara, proses pengadaan sering menjadi inti masalah korupsi, termasuk seputar penggunaan pihak ketiga. Apakah pihak ketiga direkomendasikan oleh kantor pemerintah? Apakah ada biaya tak tercatat yang keluar di menit-menit terakhir? Apakah mereka menolak untuk menandatangani kode etik atau menjalani uji kelayakan? "Wrage berpendapat ini adalah tiga pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan pengusaha kepada diri mereka sendiri.
Tanda peringatan lainnya bagi pemilik kargo udara dan logistik adalah kurangnya kualifikasi atau pengalaman untuk tiap layanan yang ditawarkan. Wrage mendesak agar pengusaha pengiriman barang dan logistik untuk tidak mentoleransi suap. Demikian juga saat mengkonsumsi media, harus mampu membedakan mana rumor atau mana yang laporan kredibel, "Bisnis bukan hanya sekedar urusan uang tunai tapi alat bisnis yang paling berharga adalah bermitra dengan perusahaan yang memiliki reputasi dan juga siap untuk melindungi reputasi pelanggannya."
Selain Indonesia, versi terbaru TRACE Matrix 2016 ini juga mengungkapkan Swedia adalah negara yang paling tidak korup dalam berbisnis. Bangsa Skandinavia ini merevisi sistem hukum pidana bagi siapa saja ditemukan terlibat dalam praktek korupsi pada tahun 2012.
Diikuti oleh Selandia Baru di tempat kedua, Estonia, Hong Kong, Norwegia, Irlandia, Belanda, Singapura, Finlandia dan Denmark di tempat kesepuluh. Berbeda sekali dengan Nigeria, Angola, Yaman, Guinea, Kamboja, Myanmar, Sudan Selatan, Suriah, Chad dan Liberia yang menduduki peringkat nilai korupsi tertinggi.
"Ketika pertama kali TRACE Matrix diluncurkan, kami mengakui pentingnya komunitas bisnis internasional memiliki alat yang dirancang khusus dalam upaya kepatuhan anti-suap mereka. Meskipun sudah ada indeks korupsi terkait lainnya, tidak ada satupun yang membahas kebutuhan penilaian risiko terkait suap yang dilakukan perusahaan asing. " Wrage menegaskan. (marloft / syam)