Dikritik Kebijakan Pemerintah Terbitkan Utang Baru Di Tengah Pandemi Corona
Rabu, 08 April 2020, 16:39 WIBBisnisNews.id -- Di tengah isu kesenjangan dan ketimpangan ekonomi serta lambatnya laju pertumbuhan ekonomi sejak Tahun 2014-2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali berutang dengan menerbitkan "Pandemik Bond".
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sebagai the last of lending resort memperoleh kucuran melalui Repo Line sejumlah US$60 Miliar dari The Fed of USA. Apakah memang tidak ada cara lain untuk mengatasi permasalahan keuangan negara dalam menghadapi pandemik covid 19 ?
Sementara, dampak pada perekonomian nasional makin berat, daya beli masyarakat turun. Tiba-tiba pemerinah menambah utang baru yang cukup besar.
"Alangkah eloknya jika Pemerintah sekarang ngajukan tambahan utang baru. Masih ada potensi penghematan dan realokasi anggaran di APBN yang bisa dilakukan Pemerintah untuk menutup kebutuhan dana penanggulangan covid-19," kritik ekonom konstitusi Defiyan Cori di Jakarta.
Menurut Defiyan, Pemerintah seharusnya lebih dulu melakukan realokasi dan efisiensi anggaran. Dalam kondisi genting, seharusnya pemerintah tak terfokus pada
pembangunan infrastruktur telah dijadikan prioritas. "Sementara, pembangunan proyek infrastruktur itu sebagian besar dari utang yang harus dibayar rakyat melalui APBN," jelas Defiyan.
Seperti diketahui, sejak Presiden Joko Widodo menjabat berpasangan dengan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, dan untuk menopangnya, anggaran bagi pembangunan infrastruktur terus dinaikkan setiap tahun.
Utang Baru dan Defisit APBN
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah baru saja menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$4,3 miliar, ekuivalen Rp68,8 triliun (dengan kurs Rp16.000/US$). Surat utang ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah yang diterbitkan pemerintah Indonesia.
“Ini penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US$ bond oleh pemerintah Republik Indonesia,” katanya dalam teleconference kemarin.
Sri Mulyani menuturkan, surat utang ini terdiri dari tiga jenis. Pertama, RI 1030 dengan tenor 10,5 tahun dengan nilai US$1,65 miliar dengan yield (imbal hasil) 3,90%. Kedua, RI 1050 bertenor 30,5 tahun dengan nilai US$1,65 miliar. Obligasi ini memiliki yield 4,2%.
Ketiga, RI 0470 dengan jatuh tempo 50 tahun. Nilai yang diterbitkan US$1 miliar dengan yield 4,50%.
Besarnya global bond yang diterbitkan menggambarkan betapa parahnya dampak krisis ekonomi yang timbul akibat virus corona baru (Covid-19). Akibat krisis corona ini diperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar dari 3% menjadi 5% atau senilai Rp853 triliun.
Sementara penerimaan pajak menurun drastis karena dunia usaha dan penerimaan masyarakat juga menurun.
Akibatnya, defisit APBN pun melonjak. Salah satu cara untuk menutup defisit yang membengkak itu adalah dengan memperbesar penerbitan surat utang.
Namun anggaran hasil penerbitan global bond ini juga digunakan untuk menjaga nilai tukar rupiah berupa penambahan cadagangan devisa di Bank Indonesia (BI).*elm/helmi