Dilema Pengelolaan BUMN Energi Di Negeri Bernama Indonesia
Senin, 30 September 2019, 15:05 WIBBisnisNews.id -- Kabar anggota Kamar Dagang Indonesia, Kadin, mengancam tak akan bayar gas PGN jika BUMN PGN menaikan harga jual gas industri, bukanlah hal yang aneh sejak “orde” reformasi lahir di negeri ini. Itulah dilema BUMN di negeri bernama Indonesia. Dalam UU, BUMN harus mencari untung, sementara UU yang lain seolah menghalalkan" BUMN untuk rugi demi kepentingan "rakyat" yang lebih besar.
Di era Reformasi, BUMN seakan dinilai sebagai badan usaha yang wajib jual murah jasa dan produknya , baik untuk masyarakat juga termasuk ke pengusaha. Predikat BUMN , seakan dinilai sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang wajib jual jasa dan produk-nya dengan “harga subsidi”.
Persoalan harga jual gas industri antara Kadin vs PGN , yang terkait pula dengan “ancaman” yang bisa menarik kegerahan “penguasa” , bisa jadi ini pertanda bahwa keberadaan BUMN sangat dilematis.
Di satu sisi , BUMN adalah badan usaha yang terikat dengan UU No.40/2007 tentang Perusahaan Terbatas (PT) yang wajib mengejar keuntungan. Di sisi lain tubuhnya diikat dengan UU RI No.19/2003 tentang BUMN yang ditafsirkan banyak pihak “wajib” membantu pelaku ekonomi lain yang mirisnyanya pula ditafsirkan “tak wajib “ mengejar laba.
Zaman now, landasan hukum yang abu abu kerap “diakali” dengan logika berfikir yang terkesan mengada-ada dan dipaksakan. Logika berfikir sehat, nyaris selalu dikesampingkan ketika untuk maksud dan kepentingan tertentu.
Dengan alasan inflasi atau demi kepentingan orang banyak, pengusaha dan pelaku ekonomi negeri ini bisa berkilah bahwa bbm subsidi misalnya ,boleh digunakan untuk setiap jenis kendaraan dan kepentingan bisnis apapun. Atau pula harga gas industri yang pada dasarnya adalah gas produk non subsidi , disuarakan, “dipaksakan”, tak boleh dikoreksi naik, padahal ini jelas produk umum yang harganya tak diatur pemerintah.
Tak lagi guna logika bahwa BUMN lahir karena UU PT No. 40/2007 tapi pasal abu-abu pada UU BUMN lebih ditekankan. Pada kenyataan lain, harga jasa dan produk produk yang dihasilkan badan usaha swasta, sepenuhnya diatur oleh mereka.
Publik nyaris tak bisa berbuat banyak atas hal ini. Lihat saja harga air mineral kemasan misalnya atau harga tekstil dan juga tarif angkutan barang oleh truk truk yang BBM-nya juga gunakan BBM subsidi. Harga barang atau jasa milik kaum pengusaha swasta itu bisa bebas melenggang, berjalan bebas mengikuti mekanisme pasar tanpa perlu kuatir dengan yang namanya inflasi atau daya beli sekalipun.
Tak ada logika berfikir sehat yang digunakan pihak swasta dalam menyikapi harga pasar , harga non subsidi. Mereka sangat paham bahwa BUMN bisa ditekan paksa lewat berbagai cara yang bisa membuat tak berdaya dan harus menelan pil pahit tak mampu meraih laba lebih sebagaimana yang bisa mereka lakukan.
Bahkan, BUMN bisa jadi tumbal bagi kepentingan pihak lain itu. Keanehan lain terjadi pula pada sikap elit Pemerintah dan elit politik di negeri ini, jika kelompok tertentu itu bersuara keras dengan “mengancam” untuk melakukan suatu sikap yang bisa bikin pusing kepala petinggi negeri ini.
Maka, BUMN yang ingin menyesuaikan harga produk non subsidinya bisa “ditegor keras” dan ini bisa membuat BUMN hanya bisa menghela nafas panjang. Menahan kekesalan tertahan dalam dada, yang akhirnya semua itu lengkaplah sudah sebagai dilema dan derita yang dihadapi BUMN negeri ini .
*Sofyano Zakaria, Direktur Eksekutif Puskepi