DPW ALFI DKI: Evaluasi PM 25/2017 Harus Dilakukan Secara Konprehensif dan Konsisten
Selasa, 10 April 2018, 12:27 WIBBisnisnews.id - Pelaku usaha berharap evaluasi terhadap implementasi PM 25 Tahun 2017 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (long stay) di tempat Pelabuhan Utama yakni Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar harus dilakukan secara konprehensif dan konsisten.
Regulasi yang betujuan untuk memperlancar kegiatan arus barang dan menekan biaya logistik di pelabuhan utama itu, idealnya diimplementasikan secara penuh sejak diundangkan pada 5 April 2017. Namun pelaksanaannya, masih banyak barang tetap menumpuk di lini satu lebih dari tiga hari dan tarif progresif yang dikenakan hingga 900 persen sangat tumpul untuk membuat pemilik barang jera.
Seketaris Umum DPW Assosiasi Logistik dan Forwarder Indonesi (ALFI) DKI, Adil Karim menngatakan, PM 25/2017 sebagai pengganti PM 116/2016 itu sebenarnya dapat menguntungkan semua pihak dan bisa memperlancar arus barang sekaligus menekan biaya logistik.
"Tentunya, kalau dilaksanakan secara penuh, dengan asumsi tiga hari sebelum submit dok dipindahkan tapi harus dilakukan oleh pihak terminal dan tiga hari setelah terbitnya Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dari Bea Cukai, barang juga harus dipindahkan ke non TPS," kata Adil pada Bisnisnews.
Adil mengatakan, tarif penyimpanan barang atau storage di buffer area non TPS jauh lebih murah ketimbang di lini satu yang dikenakan tarif progresif hingga 900 persen.
"Tarif storage di luar lebih murah atau hanya 200 persen dari tarif dasar. Tapi kalau di terminal, mulai hari ketiga dan seterusnya dikenakan tarif prgresif hingga 900 persen per hari," tuturnya.
Dalam hitung-hitungan bisnis, harusnya barang keluar pada hari ketiga karena lebih murah dan menguntungkan ketimbang bertahan di dalam. " Coba deh, siapa yang diuntungkan. Sebenarnya ini sudah kami bahas di Kemenkeu pada 2014, karena ini sudah masuk dalam pos clearance," jelas Adil.
Menyinggung soal perlu tidaknya PM 25/2017 itu dicabut karena tidak dilaksanakan secara penuh dan hanya menimbulkan kisruh berkepajangan, Adil mengatakan, sebelum dicabut yang harus diperbaiki adalah soal tarif dan tidak ada lagi yang namanya tarif progresif.
" Karena kesepakatan tarif oleh assosiasi mengacu kepada masa tumpuk kontainer di pelabuhan dan pada saat itu mengacu kepada PM 116/2016 dan bukan hanya sekedar tarif progresif," tuturnya.
Sebelumnya Menteri Prhubungan Budi Karya Sumadi mengaku heran, sudah dikenakan tarif progresif 900 persen tapi penumpukan barang lebih tiga hari di lini satu pelabuhan Tanjung Priok masih tinggi, yaitu sekitar 30 persen dan segera akan dievaluasi.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Arif Toha sebelumnya kepada Bisnisnews juga menuturkan batas toleransi lapangan Yard Occupancy Ratio (YOR) dari 65 persen hanya terpakai rata-rata 45 persen. Artinya, penumpukan barang di lini satu terminal petikemas tidak mengganggu kegiatan bongkar muat.
Menumpuknya barang lebih dari tiga hari di lini dinilainya tidak jadi masalah sepanjang tidak mengganggu aktivitas bongkar muat. Desakan, agar barang yang lebih dari tiga hari keluar dari lini satu ke buffer area, malah bisa menimbulkan biaya tinggi.
"Bagi kami, sepanjang tidak mengganggu kegiatan bongkar muat dan pemilik barang tidak keberatan membayar, ya sudah biarkan saja," jelasnya.
Dalam hitungan bisnis, para pemilik barang lebih nyaman ada di dalam terminal lini satu, ketimbang di luar. Sebab kalau harus direlokasi, ada biaya tambahan yang harus ditanggung pemilik barang.
Berdasarkan fakta di lapangan, tarif progresif tidak merugikan pemilik barang, sebab dalam hitungan bisnis, para pemilik barang masih lebih untung ketimbang harus direlokasi ke buffer-buffer yang ada di luar. (Syam S)