Dua Kali Offside, DPR Terus Abaikan Rakyat
Selasa, 03 Oktober 2017, 09:27 WIB
Oleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur
Bisnisnews.id-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ngotot memperpanjang masa kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak menduga ada 'udang di balik batu'. Tujuan Pansus sudah melenceng, bukan lagi untuk memperbaiki sistem pemberantasan korupsi melainkan melindungi segelintir legislator yang terindikasi korupsi.
Sebab, dengan memperpanjang masa kerja, tetap terbuka kesempatan untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap KPK. Apalagi, masa kerja ini diberikan tanpa batas waktu. Selanjutnya, mungkin saja, DPR akan menebar rekayasa-rekayasa untuk terus mendiskreditkan KPK.
'DPR sudah offside,' kata seorang warga Jakarta bernama Marolop, Rabu (27/09/17). Dia menyampaikan pendapatnya ini via telepon dalam program interaktif di Kompas TV, Rabu pagi. Acara ini bertema perpanjangan masa kerja Pansus, dengan pembicara tunggal pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan, yang juga mantan hakim.
Marolop mengkritisi kinerja Pansus yang condong memojokkan KPK. Sebab, timbul kesan, dalam berbagai kesempatan, anggota Pansus hanya mencari-cari kesalahan KPK. Dalam hal ini, dia menyebut nama anggota Pansus, Masinton Pasaribu.
Masinton yang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini cukup keras menyudutkan KPK dalam setiap kesempatan, baik dalam wawancara dengan media massa maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan KPK. Selain anggota Pansus, Masinton juga anggota Komisi III.
Masinton menyebut, banyak sekali kesalahan yang telah dilakukan KPK. Intinya, KPK sering bertindak di luar koridor tugas pokok dan fungsinya. KPK pun dinilai telah menerabas Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan, di dalam dirinya sendiri KPK bermasalah.
Marolop mengingatkan DPR tentang Pansus Hak Angket PT Pelindo II dua tahun silam yang dipimpin politikus PDIP Rieke Dyah Pitaloka. Saat itu, Masinton pun menjadi anggota Pansus. Masinton ngotot meminta Presiden mencopot Menteri Negara BUMN Rini Soemarno karena dinilai ikut bertanggung jawab atas kasus yang menimpa PT Pelindo II.
Saat itu, selain Masinton, banyak lagi politisi PDIP bersuara sama, meminta Presiden melengserkan Meneg BUMN. Pencopotan Rini akhirnya memang menjadi salah satu butir rekomendasi Pansus.
Butir rekomendasi Pansus Pelindo II tentang pencopotan Rini selengkapnya sebagai berikut:
"Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II menemukan fakta bahwa Menteri BUMN dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Menteri BUMN dengan sengaja tidak melaksanakan kedudukan, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 6 ayat (2a) dan Pasal 24 ayat (2) serta UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 14 ayat (1). Karena itu, pansus sangat merekomendasikan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN.”
"Pansus Pelindo II itu sudah offside juga," kata Marolop. Sebab, hak untuk memberhentikan atau tidak seorang menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Tidak dapat dicampuri siapa pun, termasuk oleh DPR.
Meskipun sifatnya hanya rekomendasi, Pansus Pelindo II itu dapat dinilai sudah overacting (melampaui batas). Jadi, Pansus Pelindo II merupakan offside pertama. Sementara itu, Pansus Hak Angket DPR tentang KPK sekarang ini menjadi offside yang kedua.
Marolop tidak punya kesempatan menjelaskan lebih lanjut apa yang dia maksud dengan istilah offside tersebut. Sebab, waktu yang diberikan kepadanya oleh presenter acara interaktif itu sangat terbatas, mungkin hanya satu menit.
Masyarakat mengetahui istilah offside ini digunakan dalam pertandingan sepak bola. Jika seorang pemain berada dalam posisi offside, maka dia dihukum oleh wasit dengan cara memberikan tendangan bebas kepada pihak lawan.
Bila pemain yang berada dalam posisi offside mecetak gol, maka gol tersebut tidak sah. Wasit langsung menganulir (membatalkan) gol tersebut, sekaligus memberikan hadiah tendangan bebas kepada pihak lawan.
Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa offside adalah sebuah posisi yang melanggar aturan.
Dalam konteks Pansus Hak Angket tentang KPK yang diibaratkan Marolop sudah offside, itu dapat diterjemahkan DPR sudah dalam posisi melanggar aturan. Karena itu, dalam pandangan Marolop, apa pun hasil kerja, kesimpulan, dan rekomendasi Pansus nanti, maka semua itu tidak sah, harus dianulir.
Sekali lagi Marolop belum sempat menerangkan offside atawa aturan apa yang sudah dilanggar Pansus. Barangkali yang dimaksud di sini salah satunya adalah Pansus ngotot bekerja, padahal KPK sedang mengajukan uji materi UU MD3 (UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK belum memberi putusan.
Dalam konteks ini Pansus seolah-olah sudah sangat yakin MK akan 'berpihak' pada DPR. Seandainya MK mengabulkan permohonan uji materi KPK itu, apakah Pansus akan terus bekerja? Nah, di sinilah offside-nya Pansus Hak Angket tentang KPK. (Maaf, ini hanya rabaan penulis).
Apa yang disampaikan Marolop ini dapat dikatakan mewakili pendapat jutaan rakyat Indonesia yang mengikuti sepak terjang Pansus melalui informasi media massa dan atau sumber lain. Jutaan rakyat mengikuti dan mencatat rekam jejak DPR yang kerap out of the track (ke luar jalur). Tapi, mereka mengambil sikap menjadi penonton yang diam, yang biasa disebut sebagai silent majority (mayoritas diam).
Jutaan rakyat masih cinta KPK. Sebab, lembaga ini terus berprestasi. Terakhir, KPK menetapkan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari sebagai tersangka. Kepala daerah lain yang gemar mengumpulkan uang haram pasti akan mendapat giliran. Tinggal tunggu waktu saja. KPK terus mengukir prestasi, sementara DPR cuma sibuk merecoki. Itulah faktor yang membuat KPK mendapat simpati tinggi.
Mengingat para anggota Dewan sejatinya adalah wakil rakyat, sepatutnya mereka menyimak baik-baik aspirasi rakyat seperti yang diwakili pendapat Marolop ini. Ataukah mereka sudah tidak peduli pada rakyat yang mereka wakili?
Jangan-jangan, DPR sudah terlalu sibuk dengan urusan sendiri dan kelompok, sehingga mengabaikan rakyat, dan lebih gigih membela sejawat yang justru terindikasi sudah makan uang rakyat. (*)