Dua Kendala Utama Tingginya Biaya Logistik dan Rendahnya Daya Saing
Rabu, 04 April 2018, 21:26 WIBBisnisnews.id - Biaya logistik Indonesia masih bertengger di posisi 23,5 persen per gross domestic product (GDP). Angka itu menunjukan rendahnya daya saing terhadap negara-negara di kawasan ASEAN. Meski diakui, ada pertumbuhan di dalam negeri dengan pembangunan infrastruktur.
Para pelaku usaha beraharap, pada tahun 2019 terjadi peningkatan daya saing dengan penurunan biaya logistik dari 23,5 persen menjadi 21,0 persen per GDP, seiring dilakukannya perbaikan regulasi dan infrastruktur yang selama ini menjadi kendala utama.
Namun berdasarkan riset dan jajak pendapat yang dilakukan Supply Chain Indonesia (SCI) bersama Assosiasi Logistik dan Forwarder Indonesi (ALFI) terhadap 548 pelaku usaha di sektor logistik, pemilik barang, akademisi dan pemerhati logistik selama 15 Januari - 28 Februari 2018 menunjukan hasil yang kurang memuaskan.
Hasil jajak pendapat tekait daya saing logistik Indonesia terhadap negara-negara di kawasan ASEAN, 31,9 persen responden menjawab lebih baik, 30,9 persen lebih buruk, 30,9 persen sama dan enam persen menjawab tidak tahu.
Sedangkan periode 2017 dibandingkan 2016, berdasarkan jajak pendapat 59,7 persen respoden menyatakan lebih baik dan 31,3 persen menyatakan, tidak banyak perubahan alias sama seperti tahun sebelumnya. 2,2 persen responden menjawab tidak tahu dan 6,8 persen responden menjawab buruk.
Kendati demikian, Ketua SCI, Setiadi didampingi Ketua Umum DPP ALFI Yuki Setiawan dan Sekretaris Umum DPW ALFI DKI Adil Karim di kantornya kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan dalam pemaparan hasil jajak pendapatnya, Rabu (4/4/2018) mengakui, selama pemerintah tidak ada keinginan melakukan perubahan di sektor regulasi dan infrastruktur, posisi Indonesia tetap mengekor dan sulit bersaing.
Banyak regulasi yang diterbitkan kantor kementerian, seperti Kementerian Perhubungan, Perdagangan dan Perindustrian, tidak mampu diimplementasikan secara penuh di lapangan dan hanya menjadi ganjalan terhadap kelancaran logistik.
"Tidak bisa kita pungkiri, dua ganjalan itu, regulasi dan infrastruktur kalau tidak segera dibenahi, kita tetap berada di belakang. Tapi kalau melihat hasil responden untuk daya saing di dalam negeri, sudah banyak perubahan," kata Setiadi.
Ketua Umum DPP ALFI, Yuki Setiawa mengakui adanya kendala di dua sektor itu. "Ini memang kami rasakan, sebagai pelaku usaha, kami membutuhkan kecepatan, ketepatan dan transparan. Pada era digititalisasi sekarang ini, idealnya, tuntutan itu bisa cepat terwujud," tuturnya.
Dua kendala itu (regulasi dan infrastruktur), lanjut Yukki, menjadi kata kunci yang harus segera dibenahi pemerintah bersama-sama seluruh stakeholder terkait. "Akan kami sampaikan catatan ini sebagai rekomendasi kepada pemerintah," tegasnya.
Walau diakui, ada sikap optimisme dari kalangan pelaku usaha dengan gencarnya pemerintah membangun infrastruktur di berbagai moda. Tapi kalau itu tidak diiringi dengan regulasi dan kekuatan melaksanakan regulasi, hasilnya tetap sama.
"Jangan disandingkan Indonesia dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, dengan Vietnam saja, meskipun ada banyak persamaan soal biaya logistik Indonesia masih tertinggal. Sebab Vietnam, berdasarkan data terakhir nilai ekspornya tinggi, terutama ikan tuna," kata Yukki.
Soal kelancaran logistik dan daya beli masyarakat, dikaitkan dengan program unggulan pemerinntaha Jokowi - JK, yaitu Tol Laut, berdasarkan jajak pendapat sebanyak 50,1 persen responden menyatakan penerapan program tol laut belum afektif.
Ditanya soal regulasi mana saja yang menjadi kendala terjadinya pembengkakan biaya logistik, Yukki mengatakan, tarif progresif di pelabuhan. " Ini adalah salah satu dari sekian banyak regulasi yang menjadi kendala. Karena tidak ada satupun negara, katakan saja di ASEAN yang menerapkan tarif progersif, hanya Indonesia saja melakukan itu," kata Yukki.
"Tujuannya kan untuk membuat jera pemilik barang agar tidak menumpuk barangnya lebih dari tiga hari, nyatanya, tidak berpegaruh," tuturnya.
Selain itu, Yukki juga mengatakan, soal transparansi tarif oleh operator pelabuhan maupun terminal tidak jelas. "Mereka kan cuma mengatakan tarif rendah dan tidak naik, tapi mereka tidak pernah mejelaskan komponennya apa saja. kami pelaku usaha maunya transparan," tegas Yukki. (Syam S)