Garong Uang Rakyat di Proyek E-KTP
Sabtu, 11 Maret 2017, 13:18 WIBBisnisnews.id - Kasus korupsi E-KTP yang mencapai Rp 2,314 triliun dan melibatkan para tokoh, politisi dan pejabat negara adalah bukan pencurian biasa tapi perampokan uang negara yang dilakukan secara berjamaah dan sistematis.
Pelakunya pun masih banyak yang bertengger ditengah-tengah kekuasaan pemerintahan saat ini. Mulai dari pejabat tinggi sampai rendahan dari pimpinan DPR sampai staf fraksinya.
Namun dalam surat dakwaan, ada nama pimpinan DPR tiba-tiba hilang di surat dakwaan, padahal sebelumnya namanya masih disebut-sebut. Bahkan surat dakwaan yang sempat bocor ke masyarakat nama itu masih ada dan tiba-tiba hilang
Terlalu banyaknya nama dan tokoh politik terlibat dalam kasus proyek KTP Elektronik itu membuat masyarakat geram. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj, memgatakan, perampokan uang negara di proyek KTP Elektronik sangat luar biasa rakusnya.
Berangkat dari cara para pelaku menggarong uang negara sebanyak itu, harusnya pelaku dihukum seberat-beratnya dan langsunsg dicabut hak politiknya. NU, kata Said Aqil Siradj, mendukung penuh langkah yang diambil Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut tuntas kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
" Saya dukung KPK sapu bersih dan jangan pandang bulu," kata Said Aqil seusai acara peluncuran Universitas Nahdlatul Ulama di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Siradj, kasus korupsi pengadaan KTP elektronik dengan kerugian negara mencapai Rp2,314 triliun atau 49 persen dari total anggaran, tidak lagi pantas disebut korupsi, melainkan garong, "Kalau sudah triliunan seperti itu sudah bukan korupsi, tetapi menggarong."
Para pelaku dinilainya sudah tidak punya hati dan terlalu sadis terhadap masyarakat. Said berharap KPK tidak gentar membongkar kasus yang diduga melibatkan para pejabat serta para politisi dari berbagai partai politik.
Kalau pun KPK mau membuka kasus itu dan jangan ada lagi nama-nama tokoh politik yang masih bertengger maupun sudah tidak menjabat ditutup-tutupi. Karena pemberantasan korupsi ini tidak akan mengganggu stabilitas politik.
" Gak masalah. Kalaupun bergejolak, sifatnya sementara kenapa harus takut," jelasnya.
Said mengatakan, masih banyaknya keterlibatan politisi dalam kasus korupsi mengindikasikan bahwa partai politik belum berhasil melakukan pendidikan politik yang benar. Partai politik seperti gagal mwlakukan pembinaan terhadap para kadernya.
TERBONGKAR
Ini adalah perampokan uang negara yang luar biasa, ditengah kesulitan masyarakat yang mengurus KTP Elektronik. Padahal sekarang ini untuk mengurus beragam keperluan di pemerintahan maupun perbankan wajib gunakan E-KTP.
Pengakuan sejumlah anggota masyarakat yang mengurus E-KTP, tidak selesai-selesai dengan alasan blanko habis. " Janjinya selesai satu minggu tapi sudah berulangkali di cek bilangnya blanko kosong," kata Ratna, warga Kebun Cengkareng Jakarta Barat.
Lambatnya pengurusan KTP Elektronik ini terjadi dibanyak tempat namun pemerintah sepertinya tidak mencari solusi. Kesulitan yang dialami warga bukan saja terjadi di Pulau Jawa tapi merata pada semua daerah dan alasannya blanko habis padahal tidak sedikit warga masyarakat yang telah melakukan perekaman data, namun tetap saja fisik E-KTP belum bisa dicetak.
Terbongkarnya garong di proyek KTP Elektronik berawal ketika LSM Government Watch (Gowa) mengendus bau busuk dan melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 Agustus 2011 silam.
Semula memang langkah LSM Gowa ini meragukan bahkan ada politisi yang sekarang ini juga terlibat teriak-teriak meragukan data itu.
Memang tidak langsung disambut dan diusut tapi akhirnya KPK memberikan rekomendasi kepada Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri untuk menghentikan proyek tersebut.
Pengusutan terus dilakukan hingga akhirnya KPK menaikan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan di tahun 2014. Saat itu KPK menetapkan Sugiharto yang menjabat sebagai Direktur Pengelolaan Indivasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri sebagai tersangka.
FAKTA PERSIDANGAN
Awal 2017 tersangka kasus proyek KTP Elektronik digelar di meja persidangan Pengadilan Negeri Tipikor,Jakarta Utara. Fakta persidangan terungkap proyek senilai Rp 5,9 triliun itu menjadi bancakan di gedung Parlemen.
Jaksa KPK, Irene Putri menuturkan mulai dari tahap awal hingga proses pembahasan dan pengadaan barang untuk proyek ini sudah tersistem dengan baik untuk melakukan penyelewengan. Hal ini bisa terlihat dari pihak pihak yang menerima kucuran uang pelicin dari proyek tersebut, selain legislatif.
"Bagi kami ini korupsi yang sangat sistematik. Bisa kita lihat ini dari mulai penganggaran, kemudian disitu melibatkan Bappenas, kementerian keuangan, teknis, kemudian DPR yang mengesahkan penganggaran," tegas Jaksa Irene.
Hal menarik pada persidangam Hari Kamis 9 Maret 2017 mengemuka tiga nama besar pimpinan dan anggota DPR serta pengusaha yang disebut-sebut menjadi perancang pembagian uang proyek KTP Elektronik. Ketiga anggota DPR itu adalah Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin. Sedangkan pengusaha tersebut adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Jaksa KPK dalam pembacaan dakwaan menyebutkan rencana jahatnya ini dirancang Andi Agustinus alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran KTP elektronik yang senilai Rp 5,9 triliun setelah dipotong pajak sebesar 11,5 persen.
Dalam dakwaan itu juga ketiganya sepakat agar proyek tersebut digarap oleh BUMN dengan tujuan mudah diatur. Seperti telah dialansir banyak media, dalam dakwaan itu tercipta kesepakatan antara Andi Narogong, Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin.
Komposisi pembagian, seperti disebutkan dalam surat dakwaan,
Muhammad Nazaruddin sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574.200.000.000. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen Sebesar 51 persen atau sejumlah Rp 2.662.000.000.000 dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyen.
Baca Juga
Sedangkan sisanya, sebesar 49 persen atau sejumlah 2.558.000.000.000, akan dibagi-bagikan kepada sejumlah pejabat Kemendagri, termasuk para terdakwa, sebesar 7 persen atau sejumlah Rp 365.400.000.000. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261.000.000.000.
Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574.200.000.000, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574.200.000.000. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen.(Syamsuri Ari)