ICAO Setuju Usulan Indonesia Gunakan Palm Oil Mill Effluent Sebagai Bahan Baku Campuran Avtur
Rabu, 10 Desember 2025, 22:16 WIB
BISNISNEWS.id - International Civil Aviation Organization (ICAO) akhirnya menerima usulan pemerintah Indonesia yang disampaikan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada agenda sidang pengurangan emisi melalui penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF)
Dalam forum itu Ditjen Hubud mengajukan perhitungan nilai default LCA (Core LCA Default Value) untuk SAF dengan bahan baku Palm Oil Mill Effluent (POME).
POME merupakan residue / sisa dariproses produksi Crude Palm Oil (CPO) dan termasuk dalam kategori residue pada daftar positive list ICAO, maka SAF yang dibuat dengan bahan baku POME mempunyai potensi penurunan emisi yang besar, sehingga sangat kompetitif dibanding SAF dari bahan baku lain.
Seperti diketahui, SAF bagi penerbangan internasional telah menjadi prioritas ICAO dalam upaya menurunkan emisi CO2 disektor penerbangan internasional melalui program Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA).
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Lukman F Laisa menyampaikan bahwa sebagai negara anggota ICAO, Indonesia berkomitmen untuk menjadi salah satu produsen utama SAF mengingat besarnya potensi bahan baku (feedstock) yang dimiliki Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut Lukman, diusulkan perhitungan nilai default LCA..
Dirjen Lukman menyampaikan bahwa dalam proses pengajuan perhitungan nilai default LCA tersebut Direktorat Jenderal Perhubungan Udara bekoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.
Selain itu untuk teknisnya didukung oleh dua mitra kerja yaitu :
1. IPOSS (Indonesia Palm Oil Strategic Studies) adalah organisasi non propit yang mempromosikan keberlanjutan oil palm Indonesia,dan;
2. dan PT. Tripatra, merupakan perusahaan swasta yang bergerak dibidang Engineering dan Energy .
"Pada Januari Tahun 2025, Kemenhub dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, melalui Indonesia CAEP Member selaku wakil Indonesia pada ICAO-CAEP, telah mengajukan perhitungan nilai LCA Default Value untuk SAF berbahan baku POME" ujar Lukman.
Setelah melalui proses penilaian teknis di CAEP, pada akhir November 2025 ICAO Council resmi menyetujui dan menerbitkan nilai LCA Default Value tersebut, yang ditetapkan sebesar 18,1 gram CO₂/MJ sebagaimana tercantum dalam dokumen ICAO “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels,” Tabel 2 pada kategori _HEFA Conversion Process.
Dirjen Lukman juga menyampaikan bahwa pencapaian ini merupakan langkah strategis bagi percepatan produksi SAF nasional.
“Persetujuan ICAO ini menegaskan bahwa POME secara resmi diakui sebagai bahan baku SAF dengan nilai emisi yang sangat kompetitif, mampu memberikan emission saving hingga 80% dibandingkan bahan bakar fosil. Ini adalah momentum besar bagi Indonesia untuk memasuki pasar SAF global,” ujarnya di Jakarta.
Proses pengajuan nilai default LCA ini telah melalui tahapan teknis panjang, termasuk perbandingan perhitungan dengan International Independent Expert dari University of Hasselt Belgia, serta verifikasi oleh Joint Research Centre – European Commission.
Seluruh proses tersebut dipresentasikan dan disetujui pada berbagai tingkatan pembahasan di CAEP hingga mendapatkan persetujuan final dari ICAO Council.
Lukman menambahkan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil kerja kolaboratif. “Kami berterima kasih atas dukungan Kementerian Luar Negeri serta kontribusi teknis dari IPOSS dan PT Tripatra. Upaya lintas institusi ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam memperjuangkan posisi nasional di forum internasional,” jelasnya.
Meski demikian, Lukman menegaskan bahwa masih terdapat tahapan penting yang perlu ditindaklanjuti agar produksi SAF berbahan baku POME dapat terealisasi secara konsisten di dalam negeri.
Salah satu prioritas utama adalah memastikan ketersediaan bahan baku POME yang mencukupi dan memiliki traceability yang baik, sehingga industri SAF nasional dapat memperoleh manfaat nilai tambah secara optimal.
“Kami mengharapkan dukungan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, BUMN, pelaku industri, asosiasi, swasta nasional, serta sektor penerbangan. Kolaborasi diperlukan dalam bentuk kebijakan, regulasi, insentif, investasi, hingga penyediaan fasilitas pendukung. Dengan langkah bersama, Indonesia memiliki peluang besar menjadi produsen SAF yang kompetitif di kawasan,” jelasnya. (Syam)