Indonesia - China Sepakat Tingkatkan Kerjasama OBOR
Senin, 15 Mei 2017, 19:45 WIB
Bisnisnews.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sebuah kunjungan kerja ke China, bertemu dengan Presiden Xi Jinping pada hari Minggu (14/05/2017) membahas promosi kerjasama ekonomi bilateral, dan menyaksikan penandatanganan 3 kesepakatan kerjasama antar kedua negara.
"Saya menghadiri pertemuan Belt and Road Forum minggu ini untuk menciptakan momentum baru, terutama kerja sama China-Indonesia dalam kerangka One Belt One Road (OBOR)," kata Jokowi pada pertemuan dengan Xi Jinping di Gedung Aula Besar Rakyat China.
Jokowi berharap inisiatif Belt and Road dapat memperkuat kerjasama ekonomi antara Indonesia dan China," Saya ingin secara khusus mengajak pemerintah Presiden Xi untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam 3 mega proyek," katanya, dikutip dari Antara.
Proyek mega yang disebut Jokowi adalah fasilitas pelabuhan Kuala Tanjung dan akses jalan dari Medan sampai ke Sibolga di Sumatera Utara; jalan raya dan infrastruktur kereta api Bitung-Manado-Gorontalo serta pelabuhan laut dan bandara di Sulawesi Utara; dan pembangkit listrik di Kalimantan Utara.
Pada pertemuan tersebut, Jokowi dan Xi Jinping menyaksikan penandatanganan 3 kesepakatan antar kedua negara. Pertama mengenai implementasi kemitraan strategis pada 2017-2021 yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan rekannya dari China Wang Yi.
Kedua pada bidang ekonomi dan kerjasama teknis yang ditandatangani oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dan Menteri Perdagangan China Zhong Shan.
Dan yang ketiga, kerja sama proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang ditandatangani Kepala Eksekutif PT KCIC Hanggoro dan Kepala Eksekutif China Development Bank Hu Huaibang dengan komitmen sebesar 4,498 miliar dolar.
Jokowi memimpin delegasi yang terdiri dari 11 menteri kabinet. Di antara menteri kabinet yang mendampingi Jokowi ke forum tersebut antara lain Menteri Koordinator Kelautan Luhut Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
PROBLEMA BANK
Dua kreditur, China Development Bank (CDB) dan Export-Import Bank of China telah menyediakan pinjaman senilai 200 miliar dolar di seluruh Asia, Timur Tengah dan bahkan Afrika.
Mereka bahkan menambahkan 55 miliar dolar lebih, menurut pengumuman pada pertemuan puncak dua hari Belt and Road Forum di Beijing, yang berakhir pada hari Senin (15/05/2017).
Di Indonesia sendiri dikatakan, CDB telah menawarkan pinjaman konsesi 40 tahun, tanpa meminta jaminan hutang pemerintah, untuk membiayai 75 persen proyek Kereta Api Bandung-Bandung, dikutip dari berita internasional Business Standard.
Pinjaman tersebut memiliki tenggang waktu 10 tahun. Porsi 60 persen didenominasi dalam dolar AS dengan suku bunga 2 persen, dan 40 persen sisanya dihitung dengan yuan China, dengan tingkat bunga 3,4 persen, menurut catatan Bank of China International.
Tetapi saat proyek Belt and Road tumbuh, begitu juga risiko meningkat terhadap kebijakan bank-bank, komersial kreditur dan peminjam, dengan logika bisnis yang patut dipertanyakan, kata bankir dan analis.
EXIM mengatakan telah memberlakukan plafon utang untuk masing-masing negara. Sedangkan CDB menerapkan batasan ketat terhadap kredit peminjam dan mengontrol konsentrasi pinjaman.
"Bagi beberapa negara, jika kita memberi mereka terlalu banyak pinjaman, terlalu banyak hutang, maka keberlanjutan hutangnya patut dipertanyakan," kata Sun Ping, wakil gubernur EXIM.
Pinjaman infrastruktur Belt dan Road antar pemerintah dengan pemerintah telah menegosiasikan tingkat suku bunga di bawah bank umum dan perpanjangan jadwal pelunasan, kata bankir dan analis.
CDB mengatakan bahwa pihaknya tidak berusaha untuk memaksimalkan keuntungan, kata Wakil Presiden Ding Xiangqun.
Gubernur bank sentral China, Zhou Xiaochuan termasuk yang memperingatkan bahwa ketergantungan pada pinjaman murah ini menimbulkan risiko dan masalah, dimulai dengan bahaya moral dan ketidakberlanjutan.
Sebelumnya Venezuela berutang 65 milyar dolar dan sekarang terkoyak oleh krisis.
"Banyak dari peminjam ini adalah negara yang akan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank komersial Barat karena peringkat kredit mereka tidak terlalu baik, atau proyek bersangkutan seringkali tidak layak secara komersial," kata Jack Yuan, analis bank Di Fitch Ratings, Shanghai.
"Yang perlu mendapat perhatian adalah adalah modal yang salah alokasi oleh bank-bank China."
Seperti Bank Industri dan Komersial China yang berpartisipasi dalam 212 proyek Belt and Road, menghasilkan total kredit sebesar 67,4 miliar dolar, kata Ketuanya Yi Huiman pada hari Senin (15/05/2017). Bank of China juga berencana menawarkan kredit senilai 100 miliar dolar untuk proyek-proyek tersebut sampai akhir tahun.
"Sebenarnya, bank komersial tidak terlalu termotivasi memberikan pinjaman," kata bankir senior di salah satu bank komersial besar di China. "Kami tidak memberikan pinjaman konsesi, dan kami benar-benar tidak ingin negara-negara tersebut menganggap bahwa pinjaman Belt dan Road didiskon."
KESEMPATAN PEBISNIS
Namun di balik resiko tersebut, ada kesempatan baik bagi pebisnis China karena pembiayaan konsesi memungkinkan produsen manufaktur dan developer China bersaing secara agresif melawan penawar lain.
Empat puluh tujuh dari 102 konglomerat milik pemerintah China berpartisipasi dalam 1.676 proyek Belt and Road, menurut statistik pemerintah.
China Communications Construction Group sendiri telah membukukan kontrak senilai 40 miliar dolar untuk membangun 10.320 kilometer jalan, 95 pelabuhan dalam laut, 10 bandara, 152 jembatan dan 2.080 perkeretaapian di negara-negara yang terlibat OBOR.
RESIKO PEMINJAM
Laos, salah satu negara termiskin di Asia, mendapatkan pembiayaan 7 miliar dolar untuk rel kereta China-Laos, melebihi setengah produk domestik bruto tahun 2015. Pinjaman konsesi dari EXIM ditetapkan di bawah bunga 3 persen.
Di Pakistan, di mana China berjanji menginvestasikan hingga 56 miliar dolar untuk infrastruktur kereta api, jalan dan energi, hutang dan pembayaran lainnya di Belt and Road akan mencapai puncaknya sekitar 5 miliar dolar pada 2022, menurut kepala ekonom pemerintah Pakistan.
Ding, dari CDB, mengatakan bahwa pinjaman kepada negara-negara berpenghasilan rendah berada dalam batas yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional, termasuk suku bunga dan masa pinjaman.
Tapi negara peminjam mengatakan ada juga sedikit pilihan karena China mendorong pembangunan internasional pertamanya. (marloft/syam s)