Kemenkeu Jelaskan Kritikan Rizal Ramli Soal Penggunaan Kartu Kredit
Selasa, 27 Maret 2018, 13:41 WIBBisnisnews.id - Seperti berbalas pantun antara Kementerian Keuangan dengan mantan Menko Maritim Rizal Ramli seputar kritikannya terkait pengunaan kartu kredit sebagai pembayaran negara.
Rizal Ramli dalam pernyataannya yang beredar di masyarakat menyebutkan, dirinya bingung dengan Menteri Keuangan yang mengeluarkan peraturan, Pemerintah bisa pakai Kartu Kredit untuk belanja.
Biaya transaksi dengan kartu kredit, besar, bunga kreditnya juga tinggi atau bunganya bisa mencapai 30 persen. Rizal Ramli mengatakan, transaksi kenegaraan seperti ini tidak ada di negara lain.
"Tidak ada di negara lain transaksi kenegaraan pakai kartu kredit. Jangan-jangan ada likuiditas missmatch," tutur dia dalam unggahan Kementerian Keuangan. Dia pun meminta DPR menegur Kementerian Keuangan yang mengeluarkan kebijakan transaksi kartu kredit tersebut.
Kitikan Rizal Ramli kemudian dibalas oleh Kementerian Keuangan melalui pernyataan resmi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, Selasa (27/3/2018) dan menjelaskan kepada Rizal Ramli mengenai penggunaan kartu kredit pemerintah supaya tidak ada kebingungan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menggunakan belanjanya untuk penyediaan layanan publik, pengadaan barang/jasa publik, dan operasional pemerintahan. Ketentuan perundangan keuangan negara menyatakan bahwa pembayaran atas beban belanja negara, dilakukan setelah barang/jasa diterima.
"Oleh karena itu, pembayaran harus bersifat langsung atau LS dari rekening kas negara ke rekening penerima, misalnya: gaji ke rekening pegawai, pembayaran atas kontrak pengadaan barang/jasa ke rekening kontraktor/pihak ketiga.Saat ini terdapat lebih dari 80 persen pembayaran belanja Pemerintah dilakukan dengan LS," ucap dia.
Pembayaran yang lain, jelas dia, diperkenankan pula berupa Uang Persediaan atau UP untuk pemenuhan kebutuhan operasional perkantoran di Pemerintahan, misalnya pembelian alat tulis perkantoran, perjalanan dinas dan konsumsi rapat. Pembayaran UP dilakukan kepada Bendahara kantor atau satuan kerja, untuk kemudian digunakan dan diisi kembali.
"Penggunaan kartu kredit yang dicanangkan pemerintah digunakan hanya untuk pembayaran yang bersifat UP. Jadi, tidak semua uang belanja negara dibayar memakai kartu kredit. Apalagi untuk membayar proyek infrastruktur, yang pembayarannya bisa mencapai puluhan miliar. Tidak seperti itu," tegas Nufransa.
Kartu kredit Pemerintah rencananya akan digunakan hanya untuk pembayaran yang nilainya di bawah Rp 50 juta per transaksi. Selain batasan tersebut, pembayaran hanya untuk keperluan sehari-hari perkantoran dan perjalanan dinas.
Siapa saja yang boleh menggunakan Kartu Kredit Pemerintah? Nufransa menjelaskan pada prinsipnya Kartu Kredit Pemerintah digunakan oleh dua kelompok, yaitu: pegawai yang tugasnya berbelanja kebutuhan sehari-hari perkantoran (dalam pemerintahan disebut Pejabat Pengadaan); dan, pegawai yang melaksanakan pembayaran biaya perjalanan dinas, seperti pembayaran tiket atau hotel.
"Tidak sembarangan, pemegang Kartu Kredit harus ditetapkan oleh Kepala Kantor/pejabat yang berwenang. Untuk menjaga integritas, pemegang Kartu Kredit juga harus menandatangani surat pernyataan untuk tidak menyalahgunakan kartu kredit, dan bila terjadi penyalahgunaan bersedia untuk dituntut ganti rugi," seru dia.
Pertanggungjawaban penggunaan kartu kredit dilakukan juga dengan mengumpulkan bukti transaksi, membebankan ke jenis pengeluaran dan mencocokkan dengan rincian tagihan.
Untuk mencegah adanya biaya bunga/denda, kartu kredit dibayarkan sebelum jatuh tempo, tentu saja setelah dilakukan verifikasi rincian tagihan. Pembayaran tagihan dilakukan dengan cara over booking dari rekening bendahara ke rekening bank penerbit kartu.
"Tidak ada biaya transaksi sama sekali. Biaya iuran tahunan, juga dibebaskan. Melalui perjanjian kerja sama, saat ini terdapat 4 bank BUMN yang menjadi penerbit kartu kredit, yaitu Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI dan Bank BTN," ungkap Nufransa.
Dengan kartu kredit ini, belanja operasional diklaim menjadi lebih efisien, karena pemerintah dapat memperoleh barang/jasa terlebih dahulu, melunasi kemudian, sehingga kegiatan dapat berjalan lebih cepat dan lancar. Petugas juga tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar dalam pembayaran kegiatan operasionalnya.
Selain itu, Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Negara dapat mengurangi uang tunai yang beredar di bendahara atau pegawai-pegawai yang melaksanakan pengadaan atau perjalanan dinas.
"Pelaksanaan ini juga akuntabel, karena seluruh transaksi kartu kredit terekam secara elektronik, dan dapat diverifikasi antar kuitansi dan rincian tagihan. Hal ini mengurangi transaksi fiktif atau penggunaan kuitansi palsu," ujar Nufransa.
Pemerintah juga sudah meminimalkan risiko dari sisi penyalahgunaannya. Mitigasinya adalah, pertama, adanya pembatasan limit kartu kredit. Saat ini limit kartu kredit untuk operasional sebesar Rp 50 juta dan untuk perjalanan dinas Rp 20 juta.
Kedua, ditunjuk administrator kartu kredit yang tugasnya memantau transaksi pemegang kartu kredit pada setiap periode tagihan (dengan sistem yang disediakan bank penerbit). Apabila ditemukan ketidakwajaran, admin dapat meminta bank untuk memblokir kartu kredit.
"Bagaimana pelaksanaannya? Penggunaan kartu kredit Pemerintah saat ini dalam masa uji coba. Sekretariat Negara, KPK, PPATK dan Kementerian Keuangan telah menggunakan sejak November 2017. Selanjutnya 81 satuan kerja dari 37 Kementerian/Lembaga akan menyusul. Jadi semua aspek dan risiko sudah dipetakan agar penggunaannya lebih berhati-hati dan prudent. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan likuiditas missmatch," jelas Nufransa.
Tidak benar pula menurut Kementerian Keuangan pernyataan Rizal Ramli yang mengatakan bahwa tidak ada negara lain yang melakukan hal seperti ini. Sudah banyak negara yang menggunakan kartu kredit untuk kegiatan perjalanan dinas dan pembayaran yang nilainya kecil; antara lain di negara Inggris, Amerika Serikat, Australia, Singapura, Korea Selatan dan Brunei Darussalam.
"Program ini semata-mata dilaksanakan agar mempermudah kegiatan operasional pemerintah. Seluruhnya pelaksanaannya diatur secara ketat oleh Kementerian Keuangan. Standarisasi prosedur dan pengamanan ditetapkan bersama perbankan. Uji coba terus dikuatkan untuk mendapatkan pola paling ideal," tandasnya.(Ari)