Kritis Terhadap Duterte, Pemerintah Cabut Ijin Operasi Rappler
Senin, 15 Januari 2018, 18:43 WIBBisnisnews.id - Pemerintah Filipina telah mencabut izin operasi situs berita terkemuka Rappler, kata beberapa pejabat pada hari Senin 15 Januari, yang dikecam oleh kritikus sebagai pukulan atas kebebasan pers.
Rappler yang didirikan pada tahun 2012 adalah salah satu kantor berita Filipina yang telah berdebat dengan Duterte lewat liputan kritis tentang perang obat brutalnya.
Komisi Sekuritas dan Bursa Efek (SEC) mengatakan telah mencabut sertifikat Rappler dan Rappler Holdings Corp karena mereka melanggar ketentuan dalam konstitusi Filipina yang meminta kepemilikan media atas orang Filipina.
"Keduanya sama-sama tidak memiliki tujuan lain selain menerapkan skema untuk menghindari konstitusi," kata komisi tersebut pada 11 Januari yang diposting di situsnya, Senin.
Editor pelaksana Rapper, Chay Hofilena mengatakan kepada AFP bahwa perusahaan tersebut akan mengajukan banding ke pengadilan atas keputusan tersebut, yang akan mulai berlaku dalam 15 hari.
"Ini adalah pelecehan murni dan sederhana, kudeta yang tampak baik terhadap kami sejak 2016," kata situs tersebut dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa Duterte termasuk di antara mereka yang telah menyerangnya.
"Kami akan terus membawa berita, memegang penguasa untuk memperhitungkan tindakan dan keputusan mereka, meminta perhatian pada penyimpangan pemerintah yang selanjutnya melemahkan orang-orang yang kurang beruntung," katanya.
Kasus tersebut menyangkut keputusan Rappler Holdings untuk menerbitkan penerimaan penyimpanan untuk saham Rappler Inc., yang menurut pemerintah dijual ke perusahaan asing.
Pada pidato kenegaraannya kepada Kongres tahun lalu, Duterte berjanji untuk mengekspos kepemilikan Rappler yaitu orang Amerika.
Banyak kemunduran yang diderita organisasi berita Filipina lainnya yang mengkritik perang Duterte terhadap obat-obatan yang telah menewaskan hampir 4.000 orang.
Pada bulan Maret tahun lalu, Duterte mengatakan surat kabar utama Philippine Daily Inquirer dan penyiar televisi ABS-CBN sebagai "anak-anak pelacur" dan memperingatkan mereka akan karma atas kritik mereka terhadap perang obat biusnya.
"Saya tidak mengancam mereka tapi suatu hari nanti karma mereka akan menyusul mereka," kata Duterte.
"Mereka tak tahu malu, anak-anak wartawan pelacur itu," kata Duterte.
Empat bulan kemudian Inquirer mengumumkan pemiliknya sedang dalam pembicaraan untuk menjual publikasi tersebut. Seorang konglomerat bisnis yang mendukung pemungutan suara Duterte pada 2016 kemudian mengungkapkan bahwa dia berencana untuk membeli Inquirer.
Tahun lalu Duterte mengancam akan memblokir aplikasi ABS-CBN memperbarui franchise operasinya, memang izin itu memerlukan persetujuan kongres.
Kelompok pengawas media massa National Union of Journalists of Philippines mencela keputusan terhadap Rappler.
"Itu hanyalah salah satu dari banyak ancaman yang telah dilakukan Duterte terhadap media yang mengkritik dia dan pemerintahannya, seperti Philippine Daily Inquirer dan jaringan siaran ABS-CBN," kata serikat tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Kami meminta semua wartawan Filipina untuk bersatu dan menolak setiap upaya untuk membungkam kami," tambah kelompok tersebut.
Senator oposisi Risa Hontiveros juga mengkritik keputusan terhadap Rappler, menyebutnya sebagai pelecehan murni dan serangan terhadap kebebasan pers.
Juru bicara kepresidenan Harry Roque mengatakan bahwa pemerintah menghormati keputusan SEC tersebut.
"Komisi Sekuritas dan Bursa diberdayakan untuk menentukan legalitas perusahaan," kata Roque dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari AFP. (marloft)