Menelisik Aksi Derek, Pemda DKI "Kriminal ... ?"
Selasa, 12 September 2017, 13:27 WIBOleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur Jakarta Selatan
Bisnisnews.id-Aksi derek kendaraan di Jakarta berlangsung setiap hari. Protes keras pemilik kendaraan, tidak menghalangi para petugas menjalankan aksinya. Bentrok fisik kadang tak terelakan. Namun, pemilik kendaraan tetap diposisi lemah, sebab harus melawan 5-10 petugas. Kendaraan pun dipaksa dikandangkan. Tapi banyak pula kendaraan yang tidak diderek, hanya dikempesi dan diambil pentilnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta beralasan, derek dilakukan karena kendaraan diparkir bukan pada tempatnya. Parkir seperti ini dikategorikan liar. Kendati demikian, para pemilik diberi kesempatan mengambil kendaraan dengan syarat, wajib membayar denda dalam jumlah yang sudah ditentukan. Minimal Rp500 ribu. Makin lama kendaraan menginap, denda makin mahal.
Parkir dinilai liar jika dilakukan di tepi jalan atau di badan jalan atau di tempat yang bukan diperuntukkan sebagai area parkir. Menurut Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, parkir liar melanggar undang-undang (UU) dan juga peraturan daerah (Perda).
Dalam konteks ini, mungkin Djarot benar, tapi mungkin juga tidak benar. Sebab, jangan lupa, UU pun mewajibkan Pemprov menyediakan fasilitas parkir yang memadai di setiap area publik, seperti pasar, instansi pelayanan publik, rumah sakit, rumah susun, rumah toko (ruko), perkantoran, obyek wisata.
Kenyataan menunjukkan, banyak area publik yang tempat parkirnya minim. Ambil contoh pasar. Katakanlah kapasitasnya 500 kios. Jika terisi semua, berarti ada 500 pemilik kios. Pemprov wajib menyediakan area parkir untuk menampung kendaraan semua pemilik kios atau minimal 500 kendaraan.
Selain itu, juga wajib disediakan fasilitas untuk kendaraan pengunjung dan kendaraan niaga, katakanlah 250 unit per hari. Ditambah dengan roda dua, mungkin 250 unit per hari. Apabila satu kendaraan roda empat butuh dua meter, maka perlu area 750x2 = 1.500 meter. Ditambah lagi untuk roda dua, misalkan 250 meter. Jadi, totalnya 1.750 meter.
Fakta di lapangan memperlihatkan, ada pasar yang area parkirnya kurang memadai. Sekadar contoh Pasar Mampang Prapatan, Pasar Warung Buncit dan Pasar Lenteng Agung yang semuanya berdomisili di Jakarta Selatan.
Kalau ternyata pasar saja tidak menyediakan lokasi parkir sebagaimana seharusnya, baik dalam bentuk horizontal (lahan terbuka) maupun vertikal (gedung parkir bertingkat). Artinya Pemprov sebagai pemilik pasar telah melakukan pelanggaran UU, minimal UU Konsumen.
Sebab, dalam konteks ini, pemilik kios dan pengunjung pasar sama-sama konsumen, yaitu konsumennya Pemprov. Ini merupakan pelanggaran pertama.
Dengan minimnya fasilitas parkir, konsumen terpaksa memarkir kendaraan di luar pasar, di pinggir jalan umum, atau parkir liar. Artinya, Pemprov secara langsung atau tidak, telah menjadi penyebab terjadinya parkir liar. Ini merupakan pelanggaran kedua.
Baca Juga:
- Aksi derek, Ancaman Gubernur DKI, Bagai menggantang Asap
- Djarot Ingatkan Warga yang membandel, KJP dan KJS Akan Dicabut
- Tawuran Johar Baru Dicurigai Masuknya Narkoba
Apabila kendaraan diderek petugas Dinas Perhubungan atau Polisi Pamong Praja (Pol PP) karena dianggap parkir liar, artinya Pemprov-lah yang menjadi biang keladi terjadinya parkirliar dan penderekan itu. Secara langsung atau tidak, Pemprov-lah yang menjadi sumber masalah. Ini merupakan pelanggaran ketiga.
Karena takut diderek paksa, sebagian konsumen tidak berani menggunakan kendaraan sendiri. Padahal, mereka membeli komoditas dalam jumlah besar. Karena itu, mereka harus
menyewa kendaraan umum, dengan risiko biaya lebih besar. Bila menggunakan kendaraan pribadi, biaya sewa itu tak perlu dikeluarkan.
Dalam hal ini, Pemprov menjadi penyebab timbulnya ekonomi biaya tinggi yang sangat merugikan konsumen. Ini merupakan pelanggaran keempat.
Bentrok antara konsumen dan aparat, karena konsumen tidak terima kendaraan mereka diderek, tapi akhirnya diderek paksa, maka konsumen dirugikan secara psikologis dan immaterial. Ini merupakan pelanggaran kelima.
Kelima pelanggaran Pemprov tersebut baru ditinjau dari satu UU, yaitu UU Konsumen. Dengan demikian, dalam hal derek paksa kendaraan, kalau ditinjau dari UU Konsumen, kemungkinan besar Pemprov telah melakukan kekeliruan. Jika nanti terbukti Pemprov benar-benar bersalah, bagaimana dengan status denda minimal Rp500 ribu? Tentu saja biaya denda ini menjadi semacam 'pungutan liar'.
Pemprov wajib mengembalikannya kepada masyarakat. Sekarang ini, beranikah warga masyarakat atau para korban derek paksa memerkarakan Pemprov ke meja hijau? Patut ditunggu ada warga yang berani melakukan gugatan berjamaah atau gugatan class action, sehingga hukum dapat menguji, apakah Pemprov DKI Jakarta telah sungguh-sungguh melaksanakan UU atau malah justru melakukan tindakan kriminal.(**)